Laman

Rabu, 01 Mei 2013

Cerpen : Perang Terakhir (Last War)




Kawan, ingin ku ceritakan sesuatu padamu. Sesuatu yang takkan pernah ku lupakan. Sesuatu yang sangat ku sesali. Sesuatu yang selalu membuatku menangis saat mengenangnya. Sesuatu yang takkan ada seorangpun yang ingin mengalaminya. Apakah itu? Itulah kematianku.
Hari itu, hari di mana aku mati. Ku kancing bajuku dengan terburu-buru. Selepas berpakaian aku segera menyiapkan barang bawaanku. Golok, celurit, pedang dan yang lainnya takkan ku lupa. Hari ini aku akan berperang. Bergegaslah aku berangkat menuju medan perang yang begitu hebat. Medan perang yang sangat ku rindukan.

“ Ma aku pamit dulu “ teriakku tuk pamit pada ibuku. “ Jangan menginap di rumah temen kamu lagi, hari ini Mama masak makanan kesukaan kamu loh “ pinta ibuku. “ Hari ini aku pasti pulang, Ma. Aku janji aku pasti pulang “ sahutku. Setelah itu aku langsung pergi meninggalkan rumahku, meninggalkan ibuku sendirian. Aku tak mencium tangannya. Aku tak ucap salam untuknya. Maafkan aku ibu, aku tak sabar. Aku tak sabar untuk berperang. Aku tak sabar memenggal kepala musuhku.

Sepanjang jalan wajah ibuku selalu mengambang di pikiranku. Wajahnya yang mulai keriput tak bisa lepas dari otakku. Perasaanku mulai tak enak. Namun aku harus buang perasaanku itu. Aku akan berperang, bukan? Aku harus konsentrasi.

Sesampainya di medan perang aku bergegas menemui teman-temanku. Mereka tersenyum lebar. Mereka kegirangan sebagai sambutan untuk panglima perang mereka yang telah datang. “ Gimana senjata lu? Lengkap gak? “ tanya salah satu kawanku. “ Weiits, iyalah. Gue kan udah tak sabar. Gue yakin hari ini kita menang lagi” jawabku dengan nada sombong.

Setelah itu kami berbincang untuk mengatur strategi peperangan nanti sembari menunggu kawanan musuh kami datang dan menyatakan siap. Kami terbakar api semangat. Kami tenggelam dalam rasa tak sabar. Hingga akhirnya waktu yang kami tunggu-tunggu tiba. Musuh kami tiba di tempat. Namun aneh, jumlah mereka sangat sedikit. Kalah banyak dengan jumlah kawananku.

Dengan jumlah sedikit itu mereka takkan bisa menang dari kami. Kami akan menghabisi mereka satu per satu. Takkan ada yang tersisa. Mereka bukan tandingan kami. Dari kejauhan kami melihat mereka. Wajah mereka begitu pucat, nampaknya mereka ketakutan. Seperti anak kucing kehilangan induknya. Selain itu senjata mereka pun sangat minim.

“ Friends, hari ini kita pasti menang “ kataku pada kawan-kawanku. Mereka terseyum seraya mengiyakan perkataanku. Satu persatu dari mereka mulai maju. Begitu juga dengan pihak kami. Ku perintahkan bawahanku untuk maju pertama sedangkan aku hanya mengawasi dari jauh. Pertarungan hari ini sangat sengit. Matahari membakar ubun-ubun kami hingga berasap. Asap semangat yang sudah lama kami tak rasakan.

Para pejalan kaki lari terbirit-birit pergi meninggalkan tempat itu. Mereka takut kena sasaran kami. Melihat sekelompok pelajar tauran adalah hal yang mengerikan bagi mereka. Maka dari itu mereka pergi ke tempat yang lebih aman. Semoga saja mereka tak memanggil polisi.

Pertempuran berlangsung cukup lama. Namun ada hal ganjil yang terjadi. Astaga, apa ini? Prajuritku terluka sedangkan pihak musuh masih utuh tanpa sedikitpun goresan. Ku perintahkan lagi prajuritku yang lainnya untuk maju. Namun sama saja, makin banyak yang terluka sedangkan mereka tidak. Prajuritku mulai sekarat.

Kami mulai bingung. Akhirnya tanpa pikir panjang kami semua maju melawan mereka. Tak lagi ku pedulikan prajuritku yang tergeletak di aspal panas. Tak lagi ku pedulikan matahari yang menyengat. Aku harus menang. 

Bagus, pihak musuh mulai terluka. Aku berhasil menyayat tangan musuhku hingga daginggnya tampak. Pedangku ini memang tajam. Musuh kami mulai berjatuhan. Sebagian dari mereka mulai sekarat. Kami mulai merasa senang. Gembira tak karuan. 

Kami menghina mereka yang tengah sekarat. Mencaci, memakinya sepuas hati kami. Namun anehnya mereka tak menunjukan wajah menyesal maupun takut, mereka malah tersenyum dingin. Cacian kami semakin menjadi-jadi. “ Mati aja lu “ ujar salah satu dari kami.

Saat itu kami lengah. Kami terlalu bahagia. Kami tak menyangka musuh kami bertambah banyak. Mereka keluar dari gang-gang di tepi jalan. Jumlah mereka begitu banyak. Badan mereka pun lebih besar dari badan kami. Kurasa mereka para alumni sekolah musuh kami. Kali ini jumlah kami yang kalah banding. Jadi inilah strategi mereka? Sial, mereka benar-benar licik. Kenapa aku tak dapat menebaknya? Pihakku sudah mulai sedikit karena sudah banyak yang terluka. Kami takkan sanggup melawan mereka yang begitu banyak.

Namun kami tak mau kalah. Hari ini kami harus menang. Dengan jumlah seadanya kami berusaha sekuat tenaga melawan mereka. Kami berusaha untuk tak takut. Rasa takut hanya untuk orang lemah bagi kami. 

Ku mulai pertarunganku dengan salah seorang alumni dari pihak musuh. Badannya begitu kekar. Kulitnya hitam legam. Wajahnya sangat sangar. Suaranya sangat berat. “ Sini lu maju “ tantangnya padaku. “ Lu pikir gua takut? “ sahutku. 

Dengan pedang kesayanganku ini aku berhasil menggores pipinya yang hitam. Dari bibir hingga matanya mengeluarkan darah yang amat segar. Dia bergerak mundur, seolah takut akan serangan keduaku. Aku tersenyum. Aku bahagia melihat darah itu mengalir begitu deras. Matahari yang terik membuatku haus. Membuatku ingin menenggak darah itu hingga habis. Aku tertawa kegirangan.

“ Mampus lu “ caciku padanya sembari meludahi wajahnya. Tiba-tiba saja ku dengar kawanku berteriak memanggil namaku “ Jamal, awas Mal di belakanglu !! “. Begitu mendengarnya aku segera menoleh kebelakang. Memastikan apa yang ada di belakangku.

Sebuah linggis melayang menghantam wajahku. Seorang musuhku memukulku dari belakang. Aku pun hampir terjatuh. Aku berusaha mundur karena kepalaku sangat pening. Pukulan itu sangat menyakitkan. Mungkin saja wajahku sudah membiru. Sebegitu kuat aku menghindar, namun akhirnya aku terjatuh bersama pedangku ke aspal yang begitu panas. Aku jatuh tengkurap. Aku tak kuat menahannya. Ku pejamkan mataku sejenak untuk menahan rasa sakitnya. Aku segera bergegas bangun. Namun sial, salah seorang alumni menarik seragam sekolahku hingga lecak. Ia menarikku seraya menyuruhku berdiri. “ Bangun lu ! “ perintahnya.

Astaga, apa-apaan ini? Saat ku buka mataku. Mereka sudah mengepungku. Tanpa basa-basi mereka langsung memukulku lagi dengan linggis. Kepalaku, punggungku, perutku hingga terasa sakit yang teramat sangat. Tak kuat lagi aku menahannya. “ Ampun bang “ pintaku untuk menghentikan ini semua. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. 

Namun mereka tak mengerti kata ampun. Mereka tak mengerti bahasa manusia. Mereka seperti binatang. Mereka terus memukulku hingga aku terjatuh. Kini darah segar mulai keluar dari mulut, hidung, hingga telingaku. Namun mereka terus saja memukulku secara membabi buta.

Mereka belum puas melihatku menderita. Salah satu dari mereka mencuri pedangku, ia memungutnya dari aspal saat ku jatuhkan tadi. Astaga, dia akan membunuhku. Tanpa banyak bicara lagi pedang itu menembus kulit perutku. Menyayat perutku hingga terlihat isi perutku. Pedangku yang sangat ku sayang kini malah menyayat perutku sendiri. Aku berteriak sekuat tenaga, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Aku menangis. Aku benar-benar menangis.

Samar-samar ku dengar seseorang berteriak “ Woy, polisi dateng. Cabut buruan “. Mereka langsung berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Bagiku itu adalah kabar baik. Para polisi itu akan pasti akan membawaku kerumah sakit. Tak masalah aku dipenjara, yang penting aku hidup. Aku tak mau mati di sini. Aku berharap polisi cepat datang.

Di saat semuanya lari terbirit-birit meninggalkan tempat ini. Orang yang menyanyat perutku masih berdiri menatapku dengan tatapan dingin. Padahal teman-temannya sudah mengajaknya pergi. Namun dia masih di sini menatapku yang sedang sekarat.

Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan. Perlahan ia buka resleting dan kancing celananya. Dia buka pula celana dalamnya. Dia menunjukan kelaminnya yang sangat besar. Dia mengarahkannya ke wajahku. Sialan, dia mengencingiku dengan santainya. Aku berusaha menghindar namun aku tak sanggup bergerak lebih banyak lagi. Bagiku ini adalah hinaan terbesar, ini lebih dari menghina. Dia benar-benar menjatuhkan harga diriku. 

Dia benar-benar bajingan. Aku ingin sekali marah. Aku ingin sekali membalasnya. Namun apadaya rasa sakit ini lebih besar dari hinaannya. Aku hanya dapat menahan amarahku dan menahan rasa sakit ini.
Setelah itu dia rapihkan lagi celananya. Lalu dia berjongkok mendekati wajahku yang telah memar ini dan berkata “ Ini balesan buat lu karena lu udah hamilin adek gue, Riska. Rasain penderitaanlu sekarang. Adek gue lebih menderita daripada lu sekarang ”. Lalu dia melayangkan pukulannya sekali lagi tempat ke mataku. Membuat pandanganku benar-benar kabur. Buram, hitam, tak jelas. Aku tak dapat melihat apa-apa. Aku juga tak dapat mendengar apa-apa.

Kini ku tahu mengapa dia begitu marah padaku. Dialah kakaknya Riska, pacarku yang ku hamili. Kini Riska sudah mengandung anakku selama 2 bulan. Itulah buah hubungan terlarang kami. Itulah hasil bisikan iblis. Iblis yang selalu mengoda kami selama 2 tahun. Hingga akhirnya kami berani melakukan perbuatan hina itu.

Hanya wajah Riska yang kini dapat ku lihat dalam benakku. Serta kata-katanya yang hingga kini masih terngiang di telingaku “ Sayang, aku hamil. Kita harus nikah “. Begitulah katanya. Perkataan itu membuat kepalaku bertambah sakit. Di satu sisi aku ingin mati agar aku terbebas dari masalah kehamilan Riska. Di sisi lain aku ingin tetap hidup untuk meneruskan sekolahku. Hingga aku sukses. Barulah aku mau menikah dengannya.

Karena dia wanita yang sangat ku sayangi setelah ibuku. Aku mencintainya sangat tulus sama seperti aku mencintai ibuku. Keduanya sangat berharga untukku. Kini wajah ibuku yang melayang-layang di benakku. Senyumnya yang begitu indah membuatku meneteskan air mata. Air mata bercampur darah. Kini suara ibuku yang terngiang di telingaku. “ Jangan menginap di rumah temen kamu lagi, hari ini Mama masak makanan kesukaan kamu loh “. Kalimat terakhir yang ku dengar dari bibirnya yang merah.

Semua itu hanya menambah rasa sakitku. Membuat dadaku sesak. Sangat-sangat sesak hingga aku kesulitan bernafas. Matahari bertambah panas. Namun polisi belum juga tiba. Aku tak dapat merasakan kakiku lagi. Ku pejamkan mataku lagi. Lalu ku perlahan membuka mataku lebar-lebar. Beberapa orang berdiri mengelilingiku. Aku tak tahu siapa mereka. Aku tak tahu apa yang mereka inginkan. Aku tak tahu dari mana mereka datang.

Namun wajah mereka begitu hitam. Lebih hitam dari warna hitam yang pernah kulihat. Di tengah wajah hitam itu, mata merah mereka begitu menyala. Mereka menatap ku dengan tajam. Mendelik menyeramkan. Lalu salah satu dari mereka mendekat dan berseru kepadaku “Wahai jiwa yang busuk keluarlah menuju murka dan kebencian dari Allah". Seketika itu aku terkejut dan aku merasa ada sesuatu yang mulai hilang dari tubuhku. Mulai dari ujung kaki terus menjalar hingga ke perut. Aku tak lagi merasakan apa-apa diperutku. Dan kini menjalar hingga ke tenggorokanku. 

Seketika itu aku sadar itulah rohku yang akan keluar meninggalkan ragaku untuk selamanya. Aku teringat akan janjiku pada ibuku tadi pagi “ Hari ini aku pasti pulang, Ma. Aku janji aku pasti pulang “. Inikah semua itu? Aku memang harus pulang hari ini. Pulang ke alam barzakh. Aku takkan pulang kerumah. Maaf kan aku ibu, aku hanya bisa menangis dalam hati.

Aku rasakan rasa sakit yang teramat sangat. Lebih sakit dari sayatan pedang. Itulah rasa sakit saat nyawaku merambat ke kepalaku. Hingga akhirnya aku mati. Mati dalam keadaan hina. Mati sia-sia dalam perang yang sia-sia pula. 

Kawan, berjanjilah untuk tidak seperti diriku. Jangan kau ikuti langkahku. Sungguh aku sangat menyesal. Ceritaku belum selesai. Dan takkan ku lanjutkan lagi. Kenapa? Karena kau takkan sanggup mendengarnya. 
 
Hingga saat ini. Hingga detik ini aku masih menyesal atas kematianku. Ku sia-siakan segalanya. Ibuku, sekolahku, uangku, kekasihku, bahkan nyawaku ku sia-siakan. Sungguh, akulah orang terbodoh di dunia. Akulah orang terhina di dunia.

Dulu ku tidur di ranjang yang empuk, di kamar yang nyaman. Kini ku tidur di tanah yang kotor, lembab, dingin, dan gelap. Dulu ku tertawa bersama teman-temanku di sekolah. Namun sekarang hanya tangisan yang dapat ku gemakan. Riska sayangku, jangan engkau menangis. Aku tak butuh tangisanmu, yang kubutuh hanya do’a darimu. Ibu maafkan aku yang telah menyianyiakan dirimu. Maafkan aku, do’akanlah aku di sini. 

Ku takkan lagi bisa tertawa, ku takkan lagi bisa makan makanan enak, takkan lagi bisa tidur nyenyak. Karena aku tak sendirian di sini. Aku bersama mereka. Mereka yang selalu bertanya padaku. Bertanya pertanyaan yang takkan pernah bisa ku jawab. Pertanyaan itu ialah “ Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu? Siapa Imammu? Apa Agamamu? Apa Kitabmu? “. Dari semua pertanyaan itu,  jawabanku hanyalah “ Aku tidak tahu “.

Sungguh tersiksa aku di dalam sini. Mereka selalu mencambukku dengan cambuk berduri. Seekor ular besar menggigit kelaminku berkali-kali. Wajahku bolong di makan belatung. Andai aku bisa kembali hidup, meneruskan sekolahku, masa mudaku, menikahi Riska. Andai aku bisa hidup kembali untuk  mencari tahu siapa Tuhanku, siapa Nabiku, siapa  Imamku, apa Kitabku, apa Agamaku. Andai ...

Tamat

Cerita ini hanyalah karangan belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, tempat, kisah, maupun peristiwa. Cerita ini diserap berdasarkan Qur'an dan Hadits. Cerita ini juga diserap dari kisah Malaikat Maut di Wikipedia.




6 komentar: