Laman

Kamis, 30 Januari 2014

Songfiction 'Rose - Lee Hi'


Matahari masih enggan bersinar. Namun langit mulai terang. Itulah tanda gerangan fajar menjelma. Semalam hujan mengguyur kota ini. Bau basah bercampur bau obat-obatan menyiksa hidungku yang tengah sulit bernafas ini. Darah bening masih mengalir deras di pipiku. Begitu pun dengan adikku. Tangisannya  memecah kesunyian lorong rumah sakit di subuh hari.

Telinga kami bagai ditusuk sebilah pedang. Hati kami bagai diiris. Otak kami beku. Seketika tingkah kami berubah. Layaknya bayi yang tak tahu harus berbuat apa. Hanya menangis. Hanya menangis yang kami bisa saat kami dengar ucapan dokter muda itu . . .

“ Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, Tuhan punya rencana lain . . Maafkan kami “ ucapnya dengan wajah pucat pasi. Penyesalan yang begitu dalam terpancar di wajahnya.

Sudah dua kali air mata kami tumpah karena ucapannya. Hari ini dan beberapa hari yang lalu. Saat kali pertama kami menginjakkan kaki di rumah sakit nan mewah ini. Rumah sakit yang katanya terbaik di negara ini. Namun apa daya, sebaik apapun pelayanan di sini, ibuku tetap pergi.

*Rose*

 “ Kami sudah melakukan uji sinar x pada lambung ibu kalian. Kami menemukan sesuatu yang aneh. Mirip seperti bunga mawar. Berikut dengan tangkainya yang masih berduri . . “ jelasnya.

“ Apa ?! Bunga mawar ? Tangkai berduri ? Tidak mungkin . . “ spontan adikku memotong.

Kaget. Jelas kami kaget. Bagaimana mungkin bunga mawar dengan tangkainya yang masih berduri bisa masuk ke dalam organ pencernaan ibu kami ? Bukankah ini semua tidak masuk akal ? Tidak dapat diterima akal sehat ? Pikiran ku melayang ke mana-mana. Hatiku masih tak percaya.

“ Ya, bunga mawar. Dengan tangkai berduri. Bukan cuma satu, bahkan hingga belasan. Kami akan segera menunjukkan gambarnya pada kalian. Tapi . . sebelumnya . . . apakah ibu kalian suka mengonsumsi benda-benda aneh ? “ tambah dokter muda itu.

Yaa Tuhan, apa maksudnya ini ? Mulutku terbuka lebar. Tak habis pikir dengan semua peristiwa ganjil yang menimpa keluargaku, terutama ibuku. Sungguh kasihan dia. Diumurnya yang sudah uzur, malah ditimpa kesusahan macam ini. Adikku tak mampu menahan tangisnya. Wajah cantiknya pudar seketika.

“ Tak mungkin !! Ibuku bukan orang gila ! Ia manusia normal ! Makan nasi serta minum air ! “ bentaknya pada dokter muda itu sambil terisak. Sementara aku hanya diam meski air mataku menetes.

*Rose*

Pagi itu mendung. Dirgantara seolah ikut berduka. Adikku mencoba menghubungi seluruh sanak saudara kami di lain kota. Sementara aku memilih untuk memberitakannya kepada Rose, kekasihku. Hanya dia tujuanku. Mobilku melaju di jalan yang basah. 

Sesampainya di rumahnya, aku mendapatinya tengah berdiri di antara kebun kecil yang ditumbuhi bunga mawar merah dengan subur. Gaun merah menambah kecantikannya pagi ini. Aku segera menghampirinya. Memeluknya seraya menangis di pelukannnya.

“ Rose . . Ibuku telah tiada . . “ suaraku lirih.

Wajahnya datar. Ia melepas pelukanku. Tak setitik pun air nampak di matanya. Kesedihan tak muncul. Rasa iba tak menjelma jadi tangisan.

“ Tidakkah kau sedih ? “ ku tahan tangisanku.

Selepasnya ia hanya tersenyum kecil.

“ Untuk apa? Aku senang. Tak ada lagi orang yang menghalangi pernikahan kita . . “ cetusnya seperti tak berdosa.

“ Apa kau bilang ? Kau senang dengan kepergian ibuku ?! Kekasih macam apa kau ini ? “ balasku pedas.
Kemarahan menyelimuti diriku. Menutupi hatiku. Meracuni pikiranku. Aku tak peduli. Ia membalik badannya seraya berjalan menjauhi ku, menelusuri mawar-mawar merah itu.

“ Bukankah aku sudah pernah berkata padamu ? Namun kau masih saja dengan pendirianmu. Mencintaiku bukan hal yang menyenangkan “ desisnya dengan nada datar.

Angin pagi yang dingin bertiup kencang. Rambutnya yang cokelat kehitam-hitaman berkibar dengan pasrahnya. Gaun merahnya yang menawan melambai-lambai. Suara gemerisik daun yang beradu dihiasi suara merdunya yang ia perdengarkan. Lagu itu . . lagu yang sering kali ia nyanyikan. Lagu yang belum ku mengerti apa intinya.

“  Nae sarangûn saeppalgan Rose
Jigûmûn arumdab getjiman
Nal karo un gasiro nol apûge halgol . . “

Aku hanya diam. Diam seribu bahasa. Tak mampu berbuat apapun jua. Tak mampu berkata apa-apa.

“  Every Rose has its thorn . . . Every Rose has its thorn . . Every Rose has its thorn “

Suaranya lembut, namun terdengar menyeramkan. Membuat bulu kudukku berdiri tegak. Kepalaku tak mau diam. Pening. Dunia terasa berputar begitu kencang. Ku tutup telingaku rapat-rapat. Ku rasakan sesuatu mengalir di hidungku. Menerobos barisan kumis tipisku. Dan bermuara di bibirku. Darah, aku berdarah. Segera ku seka dengan tanganku. Cukup banyak ternyata.

“ Aku harus pergi . . Aku harus mengurus prosesi kremasi jenazah ibuku . . “ ucapku pada Rose.
Ku langkahkan kakiku keluar dari halaman belakang rumahnya yang basah. Meninggalkannya seorang diri. Meninggalkan kebun mawar merah itu. Meninggalkan nyanyiannya yang membuat ku berdarah.

*Rose*

“ Yang pernah ku dengar . . orang bilang rumah itu sudah kosong sejak beberapa bulan yang lalu “ ucap pria tua itu.

Sontak membuat ku kaget. Jelas-jelas penghuninya masih sering ku temui, bagaimana ceritanya kosong ?

“ Benarkah ? Tapi kekasihku tinggal di sana. Aku mengunjunginya hampir setiap minggu . . “ tegasku.

Pria tua itu menyeritkan dahinya pertanda bingung. Mulutnya menganga. Tatapan matanya seolah tak percaya.

“ Benarkah nama kekasihmu ialah Rose ? “ tanya pria itu seolah khawatir.

“ Ya, benar. Dari mana anda tahu pak tua ? “ aku berbalik bertanya.

Kebingungan menyergap ku. Rasa khawatir menyelimuti hatiku. Namun rasa tak percaya lebih kuat dari segalanya.

“ Ya Tuhan ! Pergilah ! Jangan dekati aku ! Pergi dari sini ! “ ujar pria tua itu sambil mendorong tubuhku.
Wajahnya berubah drastis. Putih pucat. Ekspresi ketakutan merajai wajahnya. Ia pergi terburu-buru. Badannya yang bongkok membuat ku iba. Apa yang membuatnya menjadi takut padaku ? Ku tarik tangannya yang kurus.

“ Tunggu pak tua .. Tunggu . . Kenapa kau takut padaku ? A . . apa . . apa yang salah dengan . . semua ini . . ? “ kataku berbata-bata.

Ia mengelak. Ia berontak. Seolah tanganku penuh najis. Ia enggan menyentuhnya.

“ Ku mohon . . lepaskan aku ! “ ia memohon.

“ Jelaskan terlebih dulu apa yang terjadi padaku ! Pada Rose ! “

“ Jangan sebut nama itu ! “

“ Kenapa kau begitu membenci Rose ? Apa yang telah dia perbuat padamu ? “

“ Sungguh kau ingin tahu ?! Kau ingin tahu ?! Dia membunuh putraku ! Putraku satu-satunya ! “ ujarnya dengan nada marah.

Rose ? Membunuh ? Benarkah itu semua ? Benarkah ? Telingaku terasa panas. Jantung ku berdegup kencang. Keingin tahuanku bertambah besar. Membuatku lebih dalam lagi mengorek informasi.

“ Membunuh ? Bagaimana mungkin ? “ tanyaku penasaran seraya menyeritkan dahi.

Wajah pria tua itu berubah lagi. Tangisannya pecah. Sungguh pria tua yang malang. Nafasnya memburu menahan sesak di dadanya. Tak bisa ku bayangkan betapa perih luka di hatinya.

“ Ada sisinya yang tak kau ketahui . . Dia bukan perempuan baik-baik . . “ jawabnya sambil terisak.

“ Maksud anda? Aku tak begitu paham . . “

“ Dia itu wanita peniup pada buhul-buhul . . Ia tukang guna-guna !! “ jeritnya memecah suasana malam. “ Kau pikir bagaimana bisa putraku mati ? Padahal ia manusia normal . . “ tangisannya makin menggema.

“ Aku . . tak . . paham . . “

“ Mawar merah ! Berduri ! Menyarang di perutnya ! Wanita jalang itu menjadikanku sebatang kara ! Dia itu bukan manusia. Dia iblis ! “ caci maki pria tua itu hingga suaranya serak nyaris menghilang.

Mawar merah berduri menyarang di perut putra pria tua itu ? Semuanya seperti yang terjadi pada ibuku. Apa maksud ini semua? Mengapa aku selalu ditimpa peristiwa ganjil ? Rose ? Benarkah ia ? Jika begitu . . dialah pembunuh ibuku. Ya Tuhan, entah di mana harus ku letakkan rasa percayaku.

“ Jangan kau kira dia tak mendengar percakapan kita . . Dia mendengarnya meski ia tak di sini . . “ ujarnya setengah berbisik. Kemudian berteriak lagi. “ Rose ! Jika kau mau . . bunuhlah aku ! Kini aku tak lagi takut padamu ! Bunuh aku, Rose ! “ Kini tawanya menggelegar. Layaknya orang gila. Pria tua itu terlihat begitu aneh.

“ Sudah lah .. Biar ku antar anda pulang pak tua . . “ bujukku sambil menuntunnya masuk ke mobilku.
Aku pun mengantarnya pulang.
*Rose*

Ku rasakan telapak tangan dingin mengelus keningku. Suara tangisan yang begitu ku kenal. Panca inderaku mulai bekerja. Meski mataku masih enggan. Ku paksakan. Ku paksakan membukanya lebar-lebar. Segalanya buram. Aku tak mampu melihat dengan jelas. Yang ku tahu hanya wajah adikku yang basah.

“ Di mana aku ? “ tanyaku.

“ Kakak . . . Puji Tuhan, kau masih hidup . . “ ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku.

Aroma yang sebelumnya pernah ku cium. Aroma obat-obatan. Jelas sekali. Tempat ini ialah rumah sakit. Aku berbaring di atas ranjang yang empuk. Entah apa yang mengantarkan ku ke sini. Aku tak ingat. Saat ku coba mengingatnya, kepalaku terasa begitu sakit.

Beberapa jam kemudian, keadaanku mulai membaik. Aku sudah mampu duduk, aku bosan terus berbaring. Aku bukan anak kecil. Aku bukan orang lumpuh. Aku bukan orang yang malas.. Aku memaksa adikku bercerita apa yang terjadi padaku. Meski awalnya ia enggan, akhirnya ia bersedia. Setelah itu, aku dapat mengingat segalanya. Memori otakku kembali pulih.

Malam itu, malam di mana aku mengantar pria tua itu pulang. Aku kehilangan kendali atas mobilku. Seperti mobilku miliki pikirannya sendiri. Di perempatan jalan, kecepatannya kian bertambah. Padahal lampu sedang merah. Tak ku sangka di depan mobilku tiba-tiba saja muncul sebuah truk besar.

Mobilku menabrak truk itu. Meski sebelumnya ku coba menghindar. Bagian kanan mobilku berbentur dengan ban truk yang begitu besar. Kacanya pecah. Menancap di kepala pria tua itu. Sementara truk itu terguling. Menimpa mobilku, aku, serta pria tua itu.

Barang bawaan truk itu tumpah ruah di jalan yang licin. Bunga mawar merah berserakan di jalan. Truk itu mengangkut berkilo-kilo bunga mawar merah dari perkebunan mawar merah menuju kota. Entah untuk keperluan apa. Aku tak tahu, aku tak peduli.

Aku tak tahu nasib pria tua itu selanjutnya. Tapi firasatku mengatakan, ia sudah pergi. Syukurlah aku masih selamat meski darah segar mengalir deras di kepalaku. Bau amis tercium jelas di hidungku. Mataku buram. Rasa sakit menyergapku. Pedih. Perih. Nafasku tengengah-engah.

Aku langsung di larikan ke rumah sakit ini. Beberapa orang dengan pakaian putih menggotong ku masuk ke dalam ambulan. Sesampainya di dalam ambulan. Aku melihat seorang gadis dengan gaun merah duduk di sebelah tempat ku berbaring. Aku tak tahu apa yang ia lakukan dalam ambulan itu. Aku tak tahu dari mana ia masuk. Tak ada seorangpun petugas ambulans yang menegurnya. Seolah gadis itu hanya aku yang dapat melihatnya. Ternyata benar. Hanya aku yang mampu melihatnya. Para petugas ambulan keluar begitu saja dari ambulan.

Rasa sakit akibat luka di kepalaku kian menyiksa ku. Aku menjerit. Merengek kesakitan. Mungkin sebentar lagi aku pingsan. Mungkin juga mati. Tangisan ku makin menjadi-jadi. Aku sungguh butuh pertolongan. Namun, gadis itu hanya diam. Dia terpaku menatapku yang tengah kesakitan. Seketika, aroma yang familiar tercium jelas. Meski mataku buram, aku sungguh mengenal aromanya. Aku tahu siapa dia. Aku sungguh mengenal gadis itu dari aromanya. Gadis itu mendekatkan wajahnya ke telingaku seraya berbisik . . .
.
.
.
.
“  Don’t wanna hurt you “ 



ditulis oleh Fajar R. Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar