Matahari masih enggan bersinar. Namun langit mulai
terang. Itulah tanda gerangan fajar menjelma. Semalam hujan mengguyur kota ini.
Bau basah bercampur bau obat-obatan menyiksa hidungku yang tengah sulit
bernafas ini. Darah bening masih mengalir deras di pipiku. Begitu pun dengan adikku.
Tangisannya memecah kesunyian lorong
rumah sakit di subuh hari.
Telinga kami bagai ditusuk sebilah pedang. Hati kami
bagai diiris. Otak kami beku. Seketika tingkah kami berubah. Layaknya bayi yang
tak tahu harus berbuat apa. Hanya menangis. Hanya menangis yang kami bisa saat
kami dengar ucapan dokter muda itu . . .
“ Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun,
Tuhan punya rencana lain . . Maafkan kami “ ucapnya dengan wajah pucat pasi.
Penyesalan yang begitu dalam terpancar di wajahnya.
Sudah dua kali air mata kami tumpah karena
ucapannya. Hari ini dan beberapa hari yang lalu. Saat kali pertama kami
menginjakkan kaki di rumah sakit nan mewah ini. Rumah sakit yang katanya
terbaik di negara ini. Namun apa daya, sebaik apapun pelayanan di sini, ibuku
tetap pergi.
*Rose*
“ Kami sudah
melakukan uji sinar x pada lambung ibu kalian. Kami menemukan sesuatu yang
aneh. Mirip seperti bunga mawar. Berikut dengan tangkainya yang masih berduri .
. “ jelasnya.
“ Apa ?! Bunga mawar ? Tangkai berduri ? Tidak
mungkin . . “ spontan adikku memotong.
Kaget. Jelas kami kaget. Bagaimana mungkin bunga
mawar dengan tangkainya yang masih berduri bisa masuk ke dalam organ pencernaan
ibu kami ? Bukankah ini semua tidak masuk akal ? Tidak dapat diterima akal
sehat ? Pikiran ku melayang ke mana-mana. Hatiku masih tak percaya.
“ Ya, bunga mawar. Dengan tangkai berduri. Bukan
cuma satu, bahkan hingga belasan. Kami akan segera menunjukkan gambarnya pada
kalian. Tapi . . sebelumnya . . . apakah ibu kalian suka mengonsumsi
benda-benda aneh ? “ tambah dokter muda itu.
Yaa Tuhan, apa maksudnya ini ? Mulutku terbuka
lebar. Tak habis pikir dengan semua peristiwa ganjil yang menimpa keluargaku,
terutama ibuku. Sungguh kasihan dia. Diumurnya yang sudah uzur, malah ditimpa
kesusahan macam ini. Adikku tak mampu menahan tangisnya. Wajah cantiknya pudar
seketika.
“ Tak mungkin !! Ibuku bukan orang gila ! Ia manusia
normal ! Makan nasi serta minum air ! “ bentaknya pada dokter muda itu sambil
terisak. Sementara aku hanya diam
meski air mataku menetes.
*Rose*
Pagi itu mendung. Dirgantara seolah ikut berduka. Adikku mencoba menghubungi seluruh
sanak saudara kami di lain kota. Sementara aku memilih untuk memberitakannya kepada Rose, kekasihku. Hanya
dia tujuanku. Mobilku melaju di jalan yang basah.
Sesampainya di rumahnya, aku mendapatinya tengah
berdiri di antara kebun kecil yang ditumbuhi bunga mawar merah dengan subur. Gaun
merah menambah kecantikannya pagi ini. Aku segera menghampirinya. Memeluknya
seraya menangis di pelukannnya.
“ Rose . . Ibuku telah tiada . . “ suaraku lirih.
Wajahnya datar. Ia melepas pelukanku. Tak setitik pun air nampak di matanya.
Kesedihan tak muncul. Rasa iba tak menjelma jadi tangisan.
“ Tidakkah kau sedih ? “ ku tahan tangisanku.
Selepasnya ia hanya tersenyum kecil.
“ Untuk apa? Aku senang. Tak ada lagi orang yang
menghalangi pernikahan kita . . “ cetusnya seperti tak berdosa.
“ Apa kau bilang ? Kau senang dengan kepergian ibuku
?! Kekasih macam apa kau ini ? “ balasku pedas.
Kemarahan menyelimuti diriku. Menutupi hatiku.
Meracuni pikiranku. Aku tak peduli. Ia membalik badannya seraya berjalan
menjauhi ku, menelusuri mawar-mawar merah itu.
“ Bukankah aku sudah pernah berkata padamu ? Namun
kau masih saja dengan pendirianmu. Mencintaiku bukan hal yang menyenangkan “
desisnya dengan nada datar.
Angin pagi yang dingin bertiup kencang. Rambutnya
yang cokelat kehitam-hitaman berkibar dengan pasrahnya. Gaun merahnya yang
menawan melambai-lambai. Suara gemerisik daun yang beradu dihiasi suara
merdunya yang ia perdengarkan. Lagu itu . . lagu yang sering kali ia nyanyikan.
Lagu yang belum ku mengerti apa intinya.
“ Nae sarangûn saeppalgan Rose
Jigûmûn arumdab getjiman
Nal karo un gasiro nol apûge halgol . . “
Aku hanya diam. Diam seribu bahasa. Tak mampu
berbuat apapun jua. Tak mampu berkata apa-apa.
“ Every Rose has its thorn . . . Every Rose has its
thorn . . Every Rose has its thorn “
Suaranya lembut, namun terdengar menyeramkan. Membuat
bulu kudukku berdiri tegak. Kepalaku tak mau diam. Pening. Dunia terasa
berputar begitu kencang. Ku tutup telingaku rapat-rapat. Ku rasakan sesuatu
mengalir di hidungku. Menerobos barisan kumis tipisku. Dan bermuara di bibirku.
Darah, aku berdarah. Segera ku seka dengan tanganku. Cukup banyak ternyata.
“ Aku harus pergi . . Aku harus mengurus prosesi kremasi jenazah ibuku . . “
ucapku pada Rose.
Ku langkahkan kakiku keluar dari halaman belakang
rumahnya yang basah. Meninggalkannya seorang diri. Meninggalkan kebun mawar
merah itu. Meninggalkan nyanyiannya yang membuat ku berdarah.
*Rose*
“ Yang pernah ku dengar . . orang bilang rumah itu
sudah kosong sejak beberapa bulan yang lalu “ ucap pria tua itu.
Sontak membuat ku kaget. Jelas-jelas penghuninya
masih sering ku temui, bagaimana ceritanya kosong ?
“ Benarkah ? Tapi kekasihku tinggal di sana. Aku
mengunjunginya hampir setiap minggu
. . “ tegasku.
Pria tua itu menyeritkan dahinya pertanda bingung.
Mulutnya menganga. Tatapan matanya seolah tak percaya.
“ Benarkah nama kekasihmu ialah Rose ? “ tanya pria
itu seolah khawatir.
“ Ya, benar. Dari mana anda tahu pak tua ? “ aku
berbalik bertanya.
Kebingungan menyergap ku. Rasa khawatir menyelimuti
hatiku. Namun rasa tak percaya lebih kuat dari segalanya.
“ Ya Tuhan ! Pergilah ! Jangan dekati aku ! Pergi
dari sini ! “ ujar pria tua itu sambil mendorong tubuhku.
Wajahnya berubah drastis. Putih pucat. Ekspresi ketakutan
merajai wajahnya. Ia pergi terburu-buru. Badannya yang bongkok membuat ku iba.
Apa yang membuatnya menjadi takut padaku ? Ku tarik tangannya yang kurus.
“ Tunggu pak tua .. Tunggu . . Kenapa kau takut
padaku ? A . . apa . . apa yang salah dengan . . semua ini . . ? “ kataku
berbata-bata.
Ia mengelak. Ia berontak. Seolah tanganku penuh
najis. Ia enggan menyentuhnya.
“ Ku mohon . . lepaskan aku ! “ ia memohon.
“ Jelaskan terlebih dulu apa yang terjadi padaku !
Pada Rose ! “
“ Jangan sebut nama itu ! “
“ Kenapa kau begitu membenci Rose ? Apa yang telah
dia perbuat padamu ? “
“ Sungguh kau ingin tahu ?! Kau ingin tahu ?! Dia
membunuh putraku ! Putraku satu-satunya ! “ ujarnya dengan nada marah.
Rose ? Membunuh ? Benarkah itu semua ? Benarkah ?
Telingaku terasa panas. Jantung ku berdegup kencang. Keingin tahuanku bertambah
besar. Membuatku lebih dalam lagi mengorek informasi.
“ Membunuh ? Bagaimana mungkin ? “ tanyaku penasaran
seraya menyeritkan dahi.
Wajah pria tua itu berubah lagi. Tangisannya pecah.
Sungguh pria tua yang malang. Nafasnya memburu menahan sesak di dadanya. Tak bisa ku bayangkan
betapa perih luka di hatinya.
“ Ada sisinya yang tak kau ketahui . . Dia bukan
perempuan baik-baik . . “ jawabnya sambil terisak.
“ Maksud anda? Aku tak begitu paham . . “
“ Dia itu wanita peniup pada buhul-buhul . . Ia
tukang guna-guna !! “ jeritnya memecah suasana malam. “ Kau pikir bagaimana
bisa putraku mati ? Padahal ia manusia normal . . “ tangisannya makin menggema.
“ Aku . . tak . . paham . . “
“ Mawar merah ! Berduri ! Menyarang di perutnya !
Wanita jalang itu menjadikanku sebatang kara ! Dia itu bukan manusia. Dia iblis
! “ caci maki pria tua itu hingga suaranya serak nyaris menghilang.
Mawar merah berduri menyarang di perut putra pria
tua itu ? Semuanya seperti yang terjadi pada ibuku. Apa maksud ini semua? Mengapa aku
selalu ditimpa peristiwa ganjil ? Rose ? Benarkah ia ? Jika begitu . . dialah
pembunuh ibuku. Ya Tuhan, entah di mana harus ku letakkan rasa percayaku.
“ Jangan kau kira dia tak mendengar percakapan kita
. . Dia mendengarnya meski ia tak di sini . . “ ujarnya setengah berbisik.
Kemudian berteriak lagi. “ Rose ! Jika kau mau . . bunuhlah aku ! Kini aku tak
lagi takut padamu ! Bunuh aku, Rose ! “ Kini tawanya menggelegar. Layaknya
orang gila. Pria tua itu terlihat begitu aneh.
“ Sudah lah .. Biar ku antar anda pulang pak tua . .
“ bujukku sambil menuntunnya masuk ke mobilku.
Aku pun mengantarnya pulang.
*Rose*
Ku rasakan telapak tangan dingin mengelus keningku.
Suara tangisan yang begitu ku kenal. Panca inderaku mulai bekerja. Meski mataku
masih enggan. Ku paksakan. Ku paksakan membukanya lebar-lebar. Segalanya buram. Aku tak mampu melihat
dengan jelas. Yang ku tahu hanya wajah adikku yang basah.
“ Di mana aku ? “ tanyaku.
“ Kakak . . . Puji Tuhan, kau masih hidup . . “
ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku.
Aroma yang sebelumnya pernah ku cium. Aroma
obat-obatan. Jelas sekali. Tempat ini ialah rumah sakit. Aku berbaring di atas
ranjang yang empuk. Entah apa yang mengantarkan ku ke sini. Aku tak ingat. Saat
ku coba mengingatnya, kepalaku terasa begitu sakit.
Beberapa jam kemudian, keadaanku mulai membaik. Aku
sudah mampu duduk, aku bosan terus berbaring. Aku bukan anak kecil. Aku bukan
orang lumpuh. Aku bukan orang yang malas.. Aku memaksa adikku bercerita apa
yang terjadi padaku. Meski awalnya ia enggan, akhirnya ia bersedia. Setelah itu, aku dapat mengingat segalanya.
Memori otakku kembali pulih.
Malam itu, malam di mana aku mengantar pria tua itu
pulang. Aku kehilangan kendali atas mobilku. Seperti mobilku miliki pikirannya
sendiri. Di perempatan jalan, kecepatannya kian bertambah. Padahal lampu sedang
merah. Tak ku sangka di depan mobilku tiba-tiba saja muncul sebuah truk besar.
Mobilku menabrak truk itu.
Meski sebelumnya ku coba menghindar. Bagian kanan mobilku berbentur dengan ban
truk yang begitu besar. Kacanya pecah. Menancap di kepala pria tua itu.
Sementara truk itu terguling. Menimpa mobilku, aku, serta pria tua itu.
Barang bawaan truk itu tumpah ruah di jalan yang
licin. Bunga mawar merah berserakan di jalan. Truk itu mengangkut berkilo-kilo
bunga mawar merah dari perkebunan mawar merah menuju kota. Entah untuk
keperluan apa. Aku tak tahu, aku tak peduli.
Aku tak tahu nasib pria tua itu selanjutnya. Tapi
firasatku mengatakan, ia sudah pergi. Syukurlah aku masih selamat meski darah
segar mengalir deras di kepalaku.
Bau amis tercium jelas di hidungku. Mataku buram. Rasa sakit menyergapku.
Pedih. Perih.
Nafasku tengengah-engah.
Aku langsung di larikan ke rumah sakit ini. Beberapa orang dengan pakaian
putih menggotong ku masuk ke dalam ambulan. Sesampainya di dalam ambulan. Aku
melihat seorang gadis dengan gaun merah duduk di sebelah tempat ku berbaring. Aku tak tahu apa yang ia lakukan dalam ambulan itu. Aku
tak tahu dari mana ia masuk. Tak ada seorangpun petugas ambulans yang
menegurnya. Seolah gadis itu hanya aku yang dapat melihatnya. Ternyata benar.
Hanya aku yang mampu melihatnya. Para petugas ambulan keluar begitu saja dari
ambulan.
Rasa sakit akibat
luka di kepalaku kian menyiksa ku. Aku menjerit. Merengek kesakitan. Mungkin
sebentar lagi aku pingsan. Mungkin juga mati. Tangisan ku makin menjadi-jadi.
Aku sungguh butuh pertolongan. Namun, gadis itu hanya diam. Dia terpaku menatapku
yang tengah kesakitan. Seketika, aroma yang familiar tercium jelas. Meski
mataku buram, aku sungguh mengenal aromanya. Aku tahu siapa dia. Aku sungguh mengenal gadis itu dari aromanya.
Gadis itu mendekatkan wajahnya ke telingaku seraya berbisik . . .
.
.
.
.
“ Don’t wanna hurt you “ ditulis oleh Fajar R. Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar