Cerpen 2000 kata yang nggak jelas yang sok ke-Prancisprancis-an. Siapapun yang membaca, mohon kritik, saran, hinaan, dan caci maki serta pembenaran tata bahasa dalam percakapan bahasa Prancisnya. Merci!
Mata indah itu mencoba terpejam.
Namun malam ini, rasanya terpejam ialah hal yang amat sulit dilakukan. Dua jam
sudah tubuh anggun itu berbaring di ranjang empuknya. Baju tidurnya halus dan
harum. Namun tetap saja. Senyaman apapun ranjang serta piyamanya, ia tetap
terjaga.
Sama seperti dirinya, malam ini,
Paris pun masih terjaga. Sama-sama tengah dilanda gundah. Sama memikirkan
misteri demi misteri yang belum terpecahkan. Sama-sama sedang bersusah hati.
Tubuh anggun itu beranjak. Kaki
jenjangnya melangkah pelan. Menyusuri gelap lorong apartemennya menuju dapur.
Mencari segelas air guna membasahi
tenggorokannya. Serta menenangkan pikiran kacau dan balau hatinya. Berantakan.
Laksana kampung halamannya pasca diterpa tsunami 2004 lalu.
Mega, bidadari asal Indonesia itu
berdiri dekat jendela. Digesernya gorden biru muda dengan jemari lentiknya.
Sekilas matanya bersinar. Melihat indahnya pemandangan kota Paris di malam
hari. Kuning merah warna menara Eiffel dari kejauhan. Lalu perlahan, redup
lagi. Digesernya lagi gorden itu. Kala gundah seperti itu, indahnya Paris tak
lagi berharga baginya.
Adiknya, Tiara, sudah tiga hari
menghilang. Gadis kecil itu tiba-tiba tak kelihatan batang hidungnya. Entah
diculik, tersesat, atau melarikan diri. Tapi jika melarikan diri, untuk apa?
Mereka tak pernah bertengkar. Mega pun selalu mengasihinya dengan amat sangat.
Hanya dia yang ia punya.
Sepeninggal orang tuanya, ia dan
adik semata wayangnya itu hijrah ke Prancis. Mendapat pekerjaan dari teman
lama. Mereka tinggal dalam sebuah apartemen kecil di pinggiran Paris.
Mega merebahkan tubuhnya lagi di
ranjang. Matanya tetap mencoba terpejam meski sebenarnya tak bisa. Otaknya
terus bekerja. Membayang wajah manis adiknya yang sekarang entah ada di mana.
Sekilas, teringat kali pertama ia menginjakkan kaki di apartemen ini. Waktu
itu, Tiara tersenyum girang. Matanya menerawang ke seluruh sudut ruangan. Raut
takjub tergambar terang di wajah manisnya.
Hari-hari ia habiskan bermain
sembari berlari-larian di sekitar apartemen. Naik turun lantai memainkan
elevator yang sepi. Kadang, duduk-duduk di tangga sembari bermain bongkar
pasang. Banyak penghuni apartemen yang senang melihat tingkahnya. Rambut hitam
dan kulit kuning langsatnya membuat mereka penasaran siapa dia dan dari mana
dia. Mereka menyapa, namun Tiara hanya tersenyum. Tak bisa membalas.
Sampai pada suatu kesempatan, Tiara
mempertemukan Mega dengan seorang penghuni. André, pria lajang berumur 30 tahunan yang bekerja di sebuah penginapan
sebagai juru masak. Tiara menyeringai. Sosok ayah yang dibawakan André membuatnya merasa nyaman. Terlebih, masakan André sering kali membuat lidahnya berdecak kagum.
Sifat baik André membuat Tiara dan Mega senang berada di dekatnya. André
pun sudah menganggap mereka berdua layaknya anak sendiri. Terlebih, ia sangat
menyukai gadis kecil seperti Tiara.
“Tu parles très bien Français, Méga. (Kamu berbahasa
Prancis dengan sangat baik, Mega.)” puji André awal berjumpa.
Mega tersipu.
Tak banyak orang yang bersikap ramah
padanya. Terlebih memuji.
“Merci beaucoup. Je l’étudie des mes amis et des livres (Terima kasih
banyak. Aku mempelajarinya dari teman dan buku-buku)”
“Et ton sœur? Parle-t-elle Français aussi?
(Bagaimana adikmu? Ia berbahasa Prancis juga?)” tanya André sembari menatap Tiara dengan senyum ramah.
Mega terdiam.
Tangannya lembut membelai rambut
adiknya yang hanya tersenyum malu-malu itu. Tanpa bertanya lagi, André mengerti. Tertanam rasa iba yang mendalam di hatinya. Gadis seusia
Tiara, sudah seharusnya banyak bicara. Namun ini, gadis kecil itu selalu diam.
Hanya tersenyum seadanya. Tenang. Tak bersuara. Bisu.
Begitu juga dengan Maria. Janda tua
penjaga toko itu ditinggal anaknya merantau ke Amerika. Bukan merantau
sebenarnya, tapi menikah dengan orang Amerika, hidup di sana dan tak lagi
memedulikannya. Padahal, di usianya yang sudah cukup uzur, sudah sepantasnya ia
mendapat perlindungan dan perhatian dari seorang anak. Selain juga merasa iba
pada Tiara, itulah alasannya, mengapa ia merasa hangat berada di sisi Mega dan
Tiara.
Dan François. Mahasiswa yang lebih muda dua tahun dari Mega itu juga
bersikap baik pada keduanya. Meski kadang ia suka bersikap genit dan menggoda
Mega, namun sejatinya ia pemuda yang baik. Ia sering meminjamkan bahkan
membelikan Mega buku-buku, juga boneka untuk Tiara.
Malam ini, Mega membenamkan wajahnya
di bantal. Maksud hatinya berteriak, namun percuma. Rasa khawatir itu takkan
lenyap sedikit pun. Yang ada hanya terus bertambah dan membesar. Membengkak dan
meradang. Yang terus membunuhnya secara perlahan.
Mega tak kuat.
Dalam hening, ia menangis.
Gemetar tangannya meraih ponselnya
yang bergetar panjang. Layarnya menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun ia
belum tidur sedikit pun meski besok ia tetap harus pergi kerja. Satu-satunya
yang ada di pikirannya saat ini hanya adiknya. Di mana dia, apakah dia
baik-baik saja, dan kapan dia kembalilah yang selalu berputar di benaknya.
Tersirat penyesalan yang mendalam di
hatinya. Tak seharusnya ia membebaskan adiknya keluar apartemen sendirian.
Karena nyatanya, kota Paris masih tak cukup aman baginya.
“Halo?” sambut serak suara Mega.
“Halo? Mega? Maaf aku meneleponmu
malam-malam begini. Tapi entah mengapa, tiba-tiba aku merasa dapat petunjuk
baru,” ujar sebuah suara di seberang sana. Rekan kerja sekaligus sahabatnya
yang sama-sama dari Indonesia.
“Petunjuk?”
“Iya. Kalau boleh tahu, apa isi SMS
terakhir adikmu yang ia kirim sebelum ia menghilang? Apa benar isinya ‘Soir
de Paris’ seperti yang kau ceritakan kemarin
lusa?” tanya pemuda itu penuh penasaran.
Mega tertegun.
Ia teringat saat ia memberikan
ponsel pada Tiara untuk berkomunikasi lewat pesan singkat. Dan juga pesan
singkat terakhir yang dikirim Tiara sesaat sebelum ia menghilang, sebelum
ponselnya tak aktif dan sulit dilacak. Sebuah pesan yang berisi frase yang
entah apa maksudnya.
“Ya, benar. Soir de Paris.”
“Apa?”
“Soir de Paris. Soir de Paris.
Itu isi pesannya.” Mega meyakinkan.
Sejenak, keduanya diam. Berpikir.
Hingga akhirnya Mega berucap lagi.
“Apa petunjuk yang kamu dapat?
Kumohon, beri tahu aku.”
“Sebentar,” sahut pemuda itu. Nada
suaranya kini agak dipelankan. “Hal apa yang paling sering kamu lakukan bersama
Tiara?”
“Maksudmu?”
“Apa kegiatan yang paling disukai
dia? Yang sering kalian lakukan bersama.”
“Ya jelas banyak,” jawab Mega. Ia
malah makin tak mengerti. “Makan bersama, menonton film, bercanda, bermain, dan
lain-lain.”
“Bermain! Itu dia. Permainan apa
yang paling ia sukai?”
“Tebak kata, acak kata, dan...”
“Tepat sekali! Itu dia! Aku ingat
saat aku mengunjungimu, Tiara juga pernah mengajakku main acak kata. Anagram,”
terang pemuda itu dengan nada meyakinkan.
Namun Mega masih dilanda
kebingungan.
“Lalu kenapa? Apa maksudnya? Aku
sungguh tak mengerti,” katanya.
Pemuda itu menghela nafas.
“Menurutku, saat ini Tiara sedang
mengajak kita main anagram. Dan ‘Soir de Paris’ adalah kata-kata yang
harus kita acak agar menemukan kata baru. Yang kuyakini bahwa kata yang akan
kita temukan akan menunjukkan di mana dia berada atau siapa orang yang
menculiknya,” jelasnya panjang lebar.
Mega tertegun. Semua penjelasan
temannya itu membuatnya terdiam sejenak. Menyadari betapa bodohnya dia yang
tidak peka terhadap pesan adiknya. Namun, masih ada satu lagi alasan yang
membuatnya diam.
“Masuk akal. Tapi...”
“Tapi?”
“Tapi mungkinkah? Kami memang sudah
lama hidup di sini, tapi adikku tidak bisa bahasa Prancis. Lagi pula, kami
terbiasa bermain acak kata dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Prancis,” jelas
Mega. Hati kecilnya percaya, tapi di sisi lagi juga ragu-ragu.
“Aku sudah memikirkan itu. Tapi yang
membuatku penasaran, dari mana adikmu tahu frase ‘Soir de Paris’?” tanya
pemuda itu.
Soir de Paris. Seketika Mega ingat almarhumah ibu dan almarhum ayahnya. Dan
kehidupannya di Aceh dulu saat semuanya masih lengkap dan bahagia.
“Ayahku... sebelum menikah dengan
Ibu, pernah membelikan Ibu sebotol parfum dulu. Soir de Paris nama parfum itu.
Cukup terkenal di tahunnya. Lalu, setelah parfumnya habis, Ibu tak membuang
botolnya, melainkan menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Lalu ketika Tiara
lahir, botol parfum itu sering dimainkan olehnya. Begitu mungkin,” kisah Mega
dengan nada sedih.
“Begitu... Mungkin... Cukup masuk
akal.”
“Lalu?”
“Oke. Kembali ke acak kata. Aku sudah
memikirkan bahwa kalian tidak bermain acak kata dalam bahasa Prancis, tapi
bahasa Inggris. Nah, maka dari itu, sebelum diacak, kita terjemahkan dulu frase
itu ke bahasa Inggris. ‘Soir de Paris’ bahasa Inggrisnya ‘Evening in
Paris’. Betul, bukan?”
Mega tertegun lagi. Ia tak
terpikirkan sampai ke situ.
“Iya betul. Tapi...”
“Tapi apa? Tunggu. Biar kutebak.
Kalian tidak pernah bermain dengan frase, tapi hanya dengan kata. Betul bukan?”
“Iya. Dari mana kau tahu?”
“Tiara itu hanya seorang gadis
kecil. Akan sulit baginya untuk mengacak frase.”
“Tapi... kau lihat sendiri kan? ‘Evening
in Paris’ itu sebuah frase, bukan kata.”
“Kau kurang peka, Mega. Kita tahu, ‘Evening
in Paris’ memang sebuah frase. Tapi, tetap saja. Kita sedang main acak
kata. Intinya, kita harus mengacak frase ‘Evening in Paris’ menjadi
kata, bukan lagi frase.”
“Tapi...”
“Entah. Bisa jadi dua atau tiga
kata.”
Mega terdiam setelah “Tapi”-nya yang
ke-empat dijawab sebelum sempat ia melanjutkan.
“Lalu, kata apa saja yang bisa
dibentuk dari huruf E-V-E-N-I-N-G-I-N-P-A-R-I-S?” tanyanya.
Pemuda itu diam. Mega juga diam.
Yang terdengar hanya suara kertas dibalik-balik di sambungan telepon itu.
“Aku sudah mencoba beberapa yang
kubisa. Tapi... aku masih belum mengerti,” cakap pemuda itu. Suara kertas
dibalik-balik masih terdengar. Seolah ia sedang sibuk dengan tumpukan kertas.
“Aku akan membacakannya, kau catat.
Siapkan kertas dan bolpoin,” sambungnya.
“Baik.” Mega bergegas mencari tas
kerjanya. Mengambil beberapa lembar kertas tak terpakai serta satu buah pena. “Aku
siap”
“Baik. Aku sebutkan. APE, GRAPE,
GRAVE, VINE, GRAPEVINE, NINE, SPINE, PINE, PEE, PEER, PEAR, PIE, PANE, PAN,
PAIN, PEN, PENSIVE, VINEGAR, VIRGIN, INN, SIN, RING...”
Diam.
“Apa lagi?”
“Kau sudah mencatatnya?”
“Sudah. Apa lagi?”
“Hanya itu yang kudapat. Mungkin
masih ratusan atau bahkan ribuan kata lagi yang ada. Tapi... kosakata itu yang
kurasa kosakata yang wajar diketahui gadis kecil seusia Tiara yang masih
belajar bahasa Inggris,” jelas pemuda itu.
“Lalu?”
“Lalu... sekarang kau yang temukan
petunjuk selanjutnya. Kau orang terdekatnya, bukan? Kau lebih mengenal dia
dibanding aku.”
Mega tertegun lagi.
Lagi-lagi ia merasa bodoh dan gagal
sebagai seorang kakak. Harusnya, ia yang lebih peka dan lebih giat mencari
petunjuk-petunjuk. Bukan hanya diam menunggu polisi yang bertindak. Dan jikalau
ia tidak menemukan petunjuk selanjutnya, maka ia benar-benar seorang kakak yang
gagal.
“Aku...?”
“Tentu.”
“Bagaimana? Aku tidak bisa. Aku...
bukan detektif. Aku... hanya seorang kakak yang bodoh.” Suara lembut itu
berubah parau lagi. Perlahan, isak tangisnya berhamburan di ruangan yang sunyi.
“Sudahlah. Tak ada gunanya
menyalahkan diri sendiri. Tiara tak membutuhkan tangismu saat ini, ia butuh
usahamu,” pesan sang pemuda. Kalimatnya halus, namun menusuk.
Mega masih menangis.
“Sudahlah, Mega. Aku tak tega
mendengarmu menangis. Sebaiknya, sekarang kau tidur. Besok, baru kau pikirkan
kata-kata itu. Manakah kira-kira kata yang sekiranya memberikan petunjuk,”
sambungnya.
Sungai di pelipis itu diusap.
Dihentikan. Mega menarik nafas dalam. Lalu membuangnya perlahan. Memang benar
apa yang dikatakan temannya itu. Saat ini, menangis tak berguna. Meski para
peneliti telah menyatakan bahwa menangis dapat mengurangi stres dan dapat
membantu mengeluarkan racun di tubuh, tapi... menangis tanpa usaha, akan
berbuah apa?
“Iya. Aku mengerti,” desahnya.
“Tidurlah. Istirahatlah. Besok tak
usah datang kerja. Aku akan membicarakannya pada atasan.”
“Terima kasih. Kau terlalu baik.”
“Itulah gunanya teman.”
Mega tersenyum.
“Terima kasih. Sekali lagi terima
kasih banyak.”
“Cukup. Kau boleh berterima kasih
jika teori anagramku terbukti benar.”
“Baik. Baik.” Terlukis tawa kecil di
bibirnya yang pucat. Begitu, ia terlihat lebih cantik. ”Ya sudah. Selamat
malam.”
“Malam...” sahut sang pemuda.
Lalu telepon terputus.
Semuanya kembali hening. Tenang.
Hingga esok harinya, kota Paris bangun bersamanya. Kantung mata itu tampak
makin jelas. Hitam kelabu di tengah wajah kuning langsat wanita Asia.
Setengah muram, wajah itu menatap
selembar kertas yang ditulisnya dengan kata-kata semalam. Menelaah,
mengidentifikasi, mencari kata yang sekiranya berhubungan berisi petunjuk.
Entah petunjuk apa. Yang penting petunjuk. Begitu yang terpikir di benaknya.
Tak jauh darinya, André tengah berkecimpung dengan peralatan dapur. Semenjak hilangnya
Tiara, Mega jadi tak nafsu makan. Maka dari itu, André sengaja berbaik hati membuatkannya sarapan. Karena jika tidak,
mungkin Mega takkan makan seharian. Nasib baik masih banyak orang yang
perhatian padanya. Terlebih di saat-saat sulit seperti ini.
“Di sini kau kehabisan cuka, Mega,”
ucap André. Aksen
Prancisnya tak bisa lepas dari lidahnya meski ia berbahasa Indonesia sekarang.
Kalimatnya juga belum sempurna.
Begitulah, saking dekatnya dengan
Mega, mereka saling mengajari satu sama lain. André mengajarinya bahasa Prancis. Mega mengajarinya bahasa Indonesia.
Bahkan, tak jarang juga Mega mengajarinya memasak makanan khas Indonesia.
“Aku akan mengambilnya di dapurku
dulu,” sambungnya. Lalu ia mematikan kompor. Dan melangkah keluar menuju
apartemennya sendiri. Namun, baru sampai di pintu, dia kembali lagi. “Kau mau
kue, Mega? Je l’apporte pour ti. (Akan kubawakan untukmu)”
Mega mengangguk tersenyum.
Lalu matanya fokus lagi pada secarik
kertas di tangannya. Kemudian, seper sekian detik berikutnya. Ia tertegun.
Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dan otaknya berpikir lebih keras.
Dengan pelan, ia bergumam.
“Pies, Vinegar, Inn...”
Ada apa dengannya?
Adakah ia sudah menemukan petunjuk?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar