Semalam aku tak bisa tidur, Bang. Aku teringat dirimu. Wajah tampanmu dan tubuh tegapmu di balik kemeja putih serta jas hitam hari itu. Rupamu begitu bersih. Harum. Kau nampak bahagia duduk di sana. Pula keluargamu dan kerabatmu. Hari terakhir kita bertemu.
Namun, entah mengapa aku tak mampu bahagia melihatmu bahagia. Aku malah menangis selepas itu. Mungkin karena bukan aku yang duduk di sampingmu. Bukan diriku yang dibungkus kebaya putih itu.
“Maafin Abang, Nadia. Abah sudah mengatur semuanya,” katamu jauh-jauh hari. Lembayung senja menjadi saksinya.
Bertahun-tahun telah berlalu, Bang. Hidupku sekarang telah berubah. Selepas engkau, kini, aku hanya milik Tuhan semata. Ku abdikan jiwa dan ragaku hanya kepada-Nya. Aku berlindung di bawah nama-Nya agar Papa tak menyuruhku menikah.
Tiap hari aku berdoa, Bang. Tiap hari, sampai menangis. Aku memohon dan mengiba pada Tuhan, dengan suara rendah dan keluh kesah. Jika aku tak mampu bersanding dengan Abang di dunia, maka ku pinta Tuhan ‘tuk jadikan aku perhiasan Abang di surga.
Diriku tak habis pikir. Ujian apa yang tengah Tuhan berikan padaku? Mengapa sedikit pun aku tak mampu mengusir rasa ini? Entah mengapa aku tetap menginginkanmu. Hanya dirimu, Bang. Dirimu seorang.
“Wanita yang baik untuk lelaki yang baik juga,” kata Abang hari itu. Lagi, lembayung senja turut mendengarnya.
Tapi mengapa? Mengapa kita tak bisa bersatu, Bang? Apakah memang ini kehendak Tuhan? Ataukah hanya perkara benda yang kita bawa? Aku yang berkalung salib. Dan Abang menggenggam tasbih.
Aku tak tahu, Bang.
Aku tak paham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar