Rudi keluar dari ruang ICU. Wajahnya pucat pasi dan ketakutan. Beberapa orang langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. Rudi kalang kabut. Pandangannya kabur tak keruan.
“Bagaimana, Dok?” tanya salah seorang wartawan televisi swasta.
“Gadis itu sudah tenang sekarang. Saya sudah mengambil sampel darahnya.”
“Anda yakin, Dok? Kabar dari kerabat saya, keadaan di Bali semakin memburuk,” ujar seorang perawat.
Rudi gemetaran. Perutnya mual hebat dan keringat dingin membanjiri baju putihnya. Tubuhnya tumbang di antara kerumunan orang itu. Darah segar keluar dari mulutnya. Matanya berubah merah semua. Seketika semua orang panik dan melangkah menjauh.
“Apakah gadis itu menggigit anda, Dok?”
“Tidak! Saya baik-baik saja!”
“Dokter Rudi sudah terinfeksi! Cepat siapkan senjata!” perintah seorang pria berbaju tentara.
“Tidak! Jangan! Saya masih sehat!”
Tak ada satu pun yang berani mendekati Rudi. Ia dibiarkan terkapar di lantai dengan darah segar yang terus keluar dari mulutnya. Salah seorang pria mengokang senjatanya dan langsung membidik Rudi.
“Semuanya mundur!”
“JANGAN TEMBAK SAYA! KALIAN MASIH BUTUH SAYA!”
DOR! DOR!
Suara tembakan memecah sunyinya lorong rumah sakit malam itu. Rudi terkapar telentang. Dadanya bolong dua lubang. Dalam beberapa detik terakhirnya, Rudi masih sempat berucap dengan nafas tersengal.
“Virus itu ... menyebar lewat udara ...”
Semua orang bergidik ketakutan mendengarnya.
Rudi tewas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar