Jumat, 28 Agustus 2015

Prompt #85 - Telanjang Bulan


-Lukisan Dewi Selene oleh Albert Aublet-

Para sesepuh baru saja mendapat kabar dari penduduk langit tentang sebuah sayembara. Tepat malam ke-empat belas nanti Dewi Bulan, akan muncul dalam keadaan telanjang bulat. Siapa yang mampu melukisnya, lukisannya akan dipampang di dinding sorga. Selain itu, sang pemenang juga boleh meniduri tiap perempuan di dunia, dan terbebas dari dosa zina. Rumornya, Sang Dewi hanya muncul di tempat-tempat sepi.

Kabar itu langsung berhamburan bagai bunga sakura yang ditiup angin. Terbang, melayang, hinggap di telingaku. Namun tak ada niat pasti dalam hatiku untuk serta. Tak seperti para pemuda desa, berbondong-bondong belajar melukis secara tiba-tiba.

Setibanya malam itu, desaku jadi desa mati. Para lelaki pergi ke tempat-tempat sepi. Para wanita diam-diam mengikuti, ingin tahu rupa Sang Dewi. Ada yang ke gunung, ke hutan, ke rawa, ke laut, bahkan ada pula yang masuk gua. Sedang aku hanya termenung di bilikku, menatap bulan yang tilem timbul dikurung awan.

Aku tak tertarik hadiahnya. Bagiku, dosa atau tidak, perempuan bukan semata untuk disetubuhi. Tapi sepatutnya untuk dikasihi, dilindungi, dan dihargai. Sebab aku pun tak mau mana kala ibuku, istriku, atau putriku nanti dijamah orang yang bukan siapa-siapanya.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba langit berubah cerah dan bulan bersinar terang. Bulat sempurna, menyinari bumi. Cahayanya masuk ke bilikku yang gelap. Dalam remang cahaya itulah, muncul seorang wanita jelita tanpa busana, berbaring di ranjangku.

Aku terperanjat melihatnya. Tubuhnya molek menawan. Kulitnya mulus tanpa bulu. Payudaranya busung menantang. Rambutnya putih bersinar. Serta wajahnya di atas cantik.

“Mana kanvasmu, Kuro?” tanyanya dengan senyuman. Aku tertunduk sembari mengusap mataku lagi.

“Aku tak mahir melukis,” sahutku.

“Tak apa. Lukislah semampumu.”

“Aku tak mau.”

“Mengapa?”

“Aku tak ingin jadi bajingan yang meniduri banyak gadis. Bagiku, perempuan itu barang yang suci. Bukan untuk diperlakukan seperti itu. Aku tak mau merenggut kesucian perempuan semudah itu.”

Diam sejenak.

Hingga hanya paduan suara hewan nokturnal yang terdengar.

“Kalau begitu kemarilah. Berbaringlah bersamaku. Perlakukan aku sesukamu. Setubuhi aku sampai fajar menyingsing.”

“Sudah kubilang aku...”

“Aku ini seorang dewi. Aku dari sorga. Kesucianku abadi. Janganlah kau khawatir.”

Aku gemetar tak keruan. Udara dingin berhembus tapi keringatku bercucuran.

Belum genap satu detik, wanita itu sudah lenyap dari ranjangku. Dan ubah posisi jadi di belakangku. Memelukku erat dan melepas segala benang yang menutupi tubuhku. Aku dan dia, sama-sama bulat telanjang.

Lalu kalau memang begitu, tak apa, bukan? Toh, aku tak merenggut kesuciannya. Sebab kesuciannya takkan terenggut oleh apapun. Jadi benar tak apa? Tak apa? Tak apa. Sungguh.

Ah... tapi tidak.

Tidak!

Wanita bukan untuk disetubuhi semata. Aku tak mau melakukannya. Meskipun dia sekalipun yang meminta. Meski dia seorang dewi. Siapa pun, perempuan mana pun, harus kujaga kehormatannya. Itu prinsipku.

Lalu hingga tubuh kami sudah benar-benar tumpang tindih di atas ranjang. Aku tetap tak kuasa melakukannya. Yang kulakukan hanyalah menatapnya dalam dan mengiba, “Maaf. Aku tak bisa.”

Kemudian ia tersenyum dan berkata, “Ah, kau memang orang baik.”

Setelahnya hilang. Entah ke mana. Meninggalkanku yang telanjang di atas ranjangku sendiri, meringkuk bagai anjing. Gelap lagi. Hitam lagi. Bulan sembunyi lagi. Tinggal aku yang gemetaran. Dalam bingung, hati bergumam;

“Aku ini baik atau bodoh?”





Fiksi Mini 499 kata untuk meramaikan Prompt #85 bertema "Melukis Bulan". Sengaja kusisakan satu kata untuk jawaban pembaca bahwa "Aku ini baik atau bodoh?" :)

3 komentar:

  1. beruntung, mas. beruntung dunia-akhirat. :-)

    baguuuus bgt pesannya. saya suka!

    BalasHapus
  2. Pesannya memang jelas. Malah terlalu jelas malah sebab 'ditebarkan' berkali-kali di berbagai tempat. Sedikit misteri akan lebih baik, kurasa. :)

    BalasHapus