Rabu, 09 September 2015

Prompt #87 - Perajut Nada


-Lukisan Pablo Picasso-

Tak seindah lonceng gereja memang. Tak juga semerdu tabuhan rebana. Apalagi alunan harpa. Tapi entah mengapa suaranya mampu menembus langit. Mendobrak pintu-pintu surga, dan menggema. Hingga terdengar oleh telingaku. Aku tak bisa tidur karenanya. Gelisah. Aku ingin turun ke bumi. Mencari tahu siapa yang telah melemparkan suara dan nada-nada itu ke langit.

Di sana rupanya. Di tengah hingar-bingar manusia dunia, ia duduk sendiri. Matanya buta. Gelap. Namun tiada lelah menatap langit. Sembari senyum terus tersungging di bibirnya yang kering, ia bernyanyi. Disulamnya satu per satu nada-nada dengan benang senar di gitarnya yang kecil dan tua. Kusam keropos dimakan usia.

C’est un S.O.S
(Inilah sebuah panggilan darurat)
Je suis touché, je suis à terre
(Diriku pilu, diriku kandas)
Entends-tu ma détresse, y a-t-il quelqu’un?
(Adakah seseorang yang mendengar jeritanku?)
Je sens que je me perds
(Seolah aku kehilangan diriku sendiri)

Aku ingat dia. Aku pernah melihatnya dulu. Ia dulu bugar dan gagah. Tapi kini, entah sudah berapa tahun ia tak makan. Tubuhnya jadi seperti ranting yang kering. Kulitnya jadi pucat pasi bagai bulan kesiangan. Dan entah pula mengapa matanya buta sekarang. Mungkinkah ia terlalu banyak menangis?

Alors j'ai crié, j'ai pensé à toi
(Lalu ku menangis, ku teringat padamu)
J'ai noyé le ciel dans les vagues, les vagues
(Kutenggelamkan langit dalam ombak, ombak)
Tous mes regrets, toute mon histoire
(Semua penyesalanku, semua kisahku)
Je la refais
(Kuulangi)

Tak mampu kuterka berapa sekarang umurnya. Aku tak ingat. Yang pasti kini ia sudah semakin tua. Dan di penghujung usianya, sudah seharusnya ia bersama seseorang. Sudah sepatutnya ia bersanding bersama keluarganya. Bukan hidup dalam kesendirian di pinggir jalan, dan bernyanyi tiap hari.

Esoknya, kudengar lagi. Kuturun lagi ke bumi. Kujumpa lagi dirinya. Masih di sana. Di tengah hingar-bingar kehidupan manusia urban, ia masih sepi dengan gitar kecilnya dan senar-senarnya yang acap kali membuat jemarinya terluka.

Begitu terus. Sampai hari berganti hari. Sampai kemarau berubah salju. Dan semi menjelma gugur. Dia masih di sana. Dan aku masih di sini. Menatapnya dari kejauhan, tak mendekat barang satu sentimeter pun.

Hingga kemudian, rasa iba menguasaiku. Bukan. Bukan semata rasa iba. Tapi lebih karena senandungnya, nada yang dirajutnya selalu membuat hatiku meleleh. Syair yang menggambarkan curahan hatinya yang sepi, memaksaku untuk maju. Mendekat, dan menghampirinya sampai jarak kami berdua hanyalah udara dingin yang berhembus. Dan gerimis menjadi saksi pertemuan kami setelah sekian lama berpisah.

Seketika itu juga ia berhenti bernyanyi.
Lalu tersenyum.

“Aduhai, apa yang bidadari surga lakukan di sini?”
“Kau buta. Bagaimana kautahu aku ini dari surga?”
“Bahkan kerikil pun tahu siapa dirimu, Nona.”

Hening sejenak.

“Maaf jika senandungku mengganggumu. Tapi itu memang sengaja kulempar ke langit. Kukhususkan untuk dirimu. Aku hanya bermaksud untuk menghiburmu, Nona. Maaf. Sekali lagi, maaf.”

Hening lagi. Aku tak tahu harus berkata apa. Seribu satu perasaan campur aduk di batinku. Menyesal dan malu memaksa mataku mengeluarkan apa yang sudah lama tak ia keluarkan. Di bawah hujan yang mulai memburu. Dan dalam sesak dan isak, yang kubisa hanya memeluknya penuh rindu. Dalam sesak dan isak, yang bisa kuucap hanya rintihanku yang memanggilnya;


“Papa....”














Untuk meramaikan Prompt #87 Monday FlashFiciton “The Old Gitarist”. Bukan susah buat surealisnya, malah susah nerjemahin lagunya. Zzzz...

Tapi lagunya enak lho! Bakalan lebih ngena kalau baca sambil denger lagunya. Bisa diunduh di sini.

Terima kasih untuk Pablo Picasso, Indila, dan Mbak Nadia Pertiwi.

5 komentar: