Minggu, 03 April 2016

Prompt #109 - Shct cp!


Tuhan adalah gembalaku. Takkan kekurangan aku. Ia membaringkanku di padang rumput yang luas, ia membimbingku ke air yang tenang. Tapi itu dulu, sekarang tak lagi. Sebab tiada lagi padang luas atau air jernih di sini, di bumiku. Tapi, masih adakah Tuhan? Entah. Yang bisa kupandang hanya kelabu ibu kota dengan gedung-gedung tinggi, kelabu penduduknya, kelabu kehidupannya.



Manusia tinggal sedikit. Para peri mendominasi. Celakalah kami! Celakalah! Mengapa dulu kami lebih tertarik mendengar cerita tentang peri baik hati ketimbang kisah-kisah para nabi?

”Kisah kitab suci itu hanya dongeng!” kata mereka.

Barangkali benar, pikirku. Tapi apa salahnya mendengar kisah—yang katanya—dongeng itu dan memetik pesan moralnya? Ketimbang mendengar cerita perempuan yang melawan orang tuanya, dibantu peri, pergi ke pesta menemui lelaki, dan pulang larut malam. Sepatunya ketinggalan! Nuraninya juga! Masa bodoh. Rusak moral. Terlambat sudah.

Para peri sudah menginvasi. Menjadikan manusia sebagai budaknya. Anehnya, mereka tak pernah membunuh manusia. Hanya manusianya saja yang mati sendiri. Saling bunuh karena keserakahan. Ah, tolol. Sudah tahu sedang dijajah, diajak bersatu malah ogah. Hanya manusiakah yang begitu? Sebab katanya, seanjing-anjingnya anjing, takkan membunuh saudara sendiri.

“Taksi, Tuan?” tanyaku pada seorang... seekor... pria yang baru saja turun dari kereta dengan koper di tangannya. Dari pakaiannya yang bagus, semua tahu ia peri.

“Kau Homo sapiens sapiens?”

“Ya.”

“Bagus. Saya ingin bincang-bincang.”

Aku memanggul koper beratnya ke taksi layangku. Sedangkan pria itu sudah duduk manis di dalam.

“Apa saja yang berubah sejak kami datang ke bumi?” tanyanya.

“Banyak, Tuan.”

“Sebutkan satu.”

“Tiada lagi perang, Tuan, baik perang negara, agama, suku, atau yang lainnya. Sebab semuanya sudah menjadi satu. The United Nations of Fairy.”

“Bagus. Kami bersyukur bisa berguna bagi makhluk lain, tidak hanya untuk bangsa kami. Kami bersyukur bisa membawa perdamaian di dunia.”

Gila! Sindiran pedas!

“Kami ingin hidup berdampingan dengan manusia tapi kenapa manusia malah menganggap kami sebag....”

Bruk! Bruk! Belum sempat Tuan Peri selesai bicara, belum sempat keluar parkir stasiun, taksiku sudah ditabrak, diserbu orang-orang bersorban dan bersenjata.

“Buka! Buka!” kata mereka.

“Siapa mereka?”

“Tidak tahu.”

“Ada apa ini?!”

Boom! Suara ledakan terdengar dari dalam stasiun. Orang-orang berhamburan keluar. Asap hitam turut keluar. Pintu mobil dibuka. Tuan Peri diseret paksa. Aku ditodong dengan senjata.

“Kamu peri, ya?! Peri?!”

Nyn! Lepaskan saya!”

“Dia peri! Tahan dia!”

“Lepaskan saya!”

“Tuan, jangan berontak! Ikuti saja mau mereka!”

“Tidak! Lepaskan saya! Lepaskan!”

“Ikut kami!”

“Scht cp! Expelliarmus!”

Tuan Peri berhasil lepas. Kemudian ia kabur.

“Kejar dia! Jangan sampai kabur!”

“Stupefy! Petrificus Totalus!”

Ia tahu cara membunuh, tapi tak ia gunakan. Malah dirinya membebaskanku dari orang-orang sinting itu. Namun, saat dia ingin menghampiriku dan mengajakku bersembunyi, seorang sinting lagi keluar dari stasiun dan membidik kepala Tuan Peri. Aku melihatnya! Maka, sebelum timah panas itu membolongi kepalanya, aku lebih dulu mendorongnya.

Kemudian dirikulah yang terluka. Dadaku bolong. Darah bercucuran. Dalam samar kudengar suara.

“Dia peri! Dia peri! Allahu Akbar!”

“Manusia menang! Allahu Akbar!”

Ah, nyatanya tak semua orang yang membaca kitab suci mengerti maknanya.

Tapi tak apa. Yang penting aku sudah menolong Tuan Peri. Aku bersyukur bisa berguna bagi makhluk lain.

Berguna.







Untuk Prompt #109 Monday Flash Fiction dengan tema “Di Stasiun”. Maksain. Oke, bhay! Shct cp! Coba huruf c ganti jadi u.

4 komentar:

  1. Hahha. boleh komen ngga? boleh laah yaa...
    ini aku bacanya ditengah uts btw wkwk, actionnya dpt *ngebayangin ada aksi*
    keren sebenernya, tapi aku rada susah nangkep sih jadi harus baca dua kali ehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak boleh. Hus hus. Sama bgt. Aku juga ngerasa kurang penggambaran seting tempat dan suasananya. Jd ngerasa plotnya down.

      Hapus
  2. Hingga pertengahan cerita aku begitu menikmati (visualisasi) cerita ini (di dalam kepalaku). Bayangkan! Dunia peri yang memerintah dunia dengan bijaksana. Tapi semua buyar memasuki paruh kedua cerita. Yang terbayang cuma Harry Potter. Dan ketika cerita akan berakhir, semakin buyar. Si homo sapiens ternyata peri? Kenapa sesama peri tak bisa saling mengenali? Kalau ia pun peri, kenapa tak pakai mantra 'hocus pocus' buat membela diri.

    Semestinya aku nggak banyak bertanya, yah? Penulisnya sudah menerang benderangkan semuanya dengan sebaris kalimat di catatan kaki. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenernya dia bukan peri. Cuma terorisnya aja yg "terlalu bersemangat" jadi salah sasaran. :') oke lupakan. Bang kapan2 kita CFDan yuk biar eksis :D wkwkwk

      Hapus