Minggu, 29 Maret 2015

Soir de Paris - Fajar Utama (Cerita Pendek)

Cerpen 2000 kata yang nggak jelas yang sok ke-Prancisprancis-an. Siapapun yang membaca, mohon kritik, saran, hinaan, dan caci maki serta pembenaran tata bahasa dalam percakapan bahasa Prancisnya. Merci!


Mata indah itu mencoba terpejam. Namun malam ini, rasanya terpejam ialah hal yang amat sulit dilakukan. Dua jam sudah tubuh anggun itu berbaring di ranjang empuknya. Baju tidurnya halus dan harum. Namun tetap saja. Senyaman apapun ranjang serta piyamanya, ia tetap terjaga.
Sama seperti dirinya, malam ini, Paris pun masih terjaga. Sama-sama tengah dilanda gundah. Sama memikirkan misteri demi misteri yang belum terpecahkan. Sama-sama sedang bersusah hati.
Tubuh anggun itu beranjak. Kaki jenjangnya melangkah pelan. Menyusuri gelap lorong apartemennya menuju dapur. Mencari segelas air  guna membasahi tenggorokannya. Serta menenangkan pikiran kacau dan balau hatinya. Berantakan. Laksana kampung halamannya pasca diterpa tsunami 2004 lalu.
Mega, bidadari asal Indonesia itu berdiri dekat jendela. Digesernya gorden biru muda dengan jemari lentiknya. Sekilas matanya bersinar. Melihat indahnya pemandangan kota Paris di malam hari. Kuning merah warna menara Eiffel dari kejauhan. Lalu perlahan, redup lagi. Digesernya lagi gorden itu. Kala gundah seperti itu, indahnya Paris tak lagi berharga baginya.
Adiknya, Tiara, sudah tiga hari menghilang. Gadis kecil itu tiba-tiba tak kelihatan batang hidungnya. Entah diculik, tersesat, atau melarikan diri. Tapi jika melarikan diri, untuk apa? Mereka tak pernah bertengkar. Mega pun selalu mengasihinya dengan amat sangat. Hanya dia yang ia punya.
Sepeninggal orang tuanya, ia dan adik semata wayangnya itu hijrah ke Prancis. Mendapat pekerjaan dari teman lama. Mereka tinggal dalam sebuah apartemen kecil di pinggiran Paris.
Mega merebahkan tubuhnya lagi di ranjang. Matanya tetap mencoba terpejam meski sebenarnya tak bisa. Otaknya terus bekerja. Membayang wajah manis adiknya yang sekarang entah ada di mana. Sekilas, teringat kali pertama ia menginjakkan kaki di apartemen ini. Waktu itu, Tiara tersenyum girang. Matanya menerawang ke seluruh sudut ruangan. Raut takjub tergambar terang di wajah manisnya.
Hari-hari ia habiskan bermain sembari berlari-larian di sekitar apartemen. Naik turun lantai memainkan elevator yang sepi. Kadang, duduk-duduk di tangga sembari bermain bongkar pasang. Banyak penghuni apartemen yang senang melihat tingkahnya. Rambut hitam dan kulit kuning langsatnya membuat mereka penasaran siapa dia dan dari mana dia. Mereka menyapa, namun Tiara hanya tersenyum. Tak bisa membalas.
Sampai pada suatu kesempatan, Tiara mempertemukan Mega dengan seorang penghuni. André, pria lajang berumur 30 tahunan yang bekerja di sebuah penginapan sebagai juru masak. Tiara menyeringai. Sosok ayah yang dibawakan André membuatnya merasa nyaman. Terlebih, masakan André sering kali membuat lidahnya berdecak kagum.
Sifat baik André membuat Tiara dan Mega senang berada di dekatnya. André pun sudah menganggap mereka berdua layaknya anak sendiri. Terlebih, ia sangat menyukai gadis kecil seperti Tiara.
“Tu parles très bien Français, Méga. (Kamu berbahasa Prancis dengan sangat baik, Mega.)” puji André awal berjumpa.
Mega tersipu.
Tak banyak orang yang bersikap ramah padanya. Terlebih memuji.
“Merci beaucoup. Je l’étudie des mes amis et des livres (Terima kasih banyak. Aku mempelajarinya dari teman dan buku-buku)”
“Et ton sœur? Parle-t-elle Français aussi? (Bagaimana adikmu? Ia berbahasa Prancis juga?)” tanya André sembari menatap Tiara dengan senyum ramah.
Mega terdiam.
Tangannya lembut membelai rambut adiknya yang hanya tersenyum malu-malu itu. Tanpa bertanya lagi, André mengerti. Tertanam rasa iba yang mendalam di hatinya. Gadis seusia Tiara, sudah seharusnya banyak bicara. Namun ini, gadis kecil itu selalu diam. Hanya tersenyum seadanya. Tenang. Tak bersuara. Bisu.
Begitu juga dengan Maria. Janda tua penjaga toko itu ditinggal anaknya merantau ke Amerika. Bukan merantau sebenarnya, tapi menikah dengan orang Amerika, hidup di sana dan tak lagi memedulikannya. Padahal, di usianya yang sudah cukup uzur, sudah sepantasnya ia mendapat perlindungan dan perhatian dari seorang anak. Selain juga merasa iba pada Tiara, itulah alasannya, mengapa ia merasa hangat berada di sisi Mega dan Tiara.
Dan François. Mahasiswa yang lebih muda dua tahun dari Mega itu juga bersikap baik pada keduanya. Meski kadang ia suka bersikap genit dan menggoda Mega, namun sejatinya ia pemuda yang baik. Ia sering meminjamkan bahkan membelikan Mega buku-buku, juga boneka untuk Tiara.
Malam ini, Mega membenamkan wajahnya di bantal. Maksud hatinya berteriak, namun percuma. Rasa khawatir itu takkan lenyap sedikit pun. Yang ada hanya terus bertambah dan membesar. Membengkak dan meradang. Yang terus membunuhnya secara perlahan.
Mega tak kuat.
Dalam hening, ia menangis.
Gemetar tangannya meraih ponselnya yang bergetar panjang. Layarnya menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun ia belum tidur sedikit pun meski besok ia tetap harus pergi kerja. Satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini hanya adiknya. Di mana dia, apakah dia baik-baik saja, dan kapan dia kembalilah yang selalu berputar di benaknya.
Tersirat penyesalan yang mendalam di hatinya. Tak seharusnya ia membebaskan adiknya keluar apartemen sendirian. Karena nyatanya, kota Paris masih tak cukup aman baginya.
“Halo?” sambut serak suara Mega.
“Halo? Mega? Maaf aku meneleponmu malam-malam begini. Tapi entah mengapa, tiba-tiba aku merasa dapat petunjuk baru,” ujar sebuah suara di seberang sana. Rekan kerja sekaligus sahabatnya yang sama-sama dari Indonesia.
“Petunjuk?”
“Iya. Kalau boleh tahu, apa isi SMS terakhir adikmu yang ia kirim sebelum ia menghilang? Apa benar isinya ‘Soir de Paris’ seperti yang kau ceritakan kemarin lusa?” tanya pemuda itu penuh penasaran.
Mega tertegun.
Ia teringat saat ia memberikan ponsel pada Tiara untuk berkomunikasi lewat pesan singkat. Dan juga pesan singkat terakhir yang dikirim Tiara sesaat sebelum ia menghilang, sebelum ponselnya tak aktif dan sulit dilacak. Sebuah pesan yang berisi frase yang entah apa maksudnya.
“Ya, benar. Soir de Paris.”
“Apa?”
Soir de Paris. Soir de Paris. Itu isi pesannya.” Mega meyakinkan.
Sejenak, keduanya diam. Berpikir. Hingga akhirnya Mega berucap lagi.
“Apa petunjuk yang kamu dapat? Kumohon, beri tahu aku.”
“Sebentar,” sahut pemuda itu. Nada suaranya kini agak dipelankan. “Hal apa yang paling sering kamu lakukan bersama Tiara?”
“Maksudmu?”
“Apa kegiatan yang paling disukai dia? Yang sering kalian lakukan bersama.”
“Ya jelas banyak,” jawab Mega. Ia malah makin tak mengerti. “Makan bersama, menonton film, bercanda, bermain, dan lain-lain.”
“Bermain! Itu dia. Permainan apa yang paling ia sukai?”
“Tebak kata, acak kata, dan...”
“Tepat sekali! Itu dia! Aku ingat saat aku mengunjungimu, Tiara juga pernah mengajakku main acak kata. Anagram,” terang pemuda itu dengan nada meyakinkan.
Namun Mega masih dilanda kebingungan.
“Lalu kenapa? Apa maksudnya? Aku sungguh tak mengerti,” katanya.
Pemuda itu menghela nafas.
“Menurutku, saat ini Tiara sedang mengajak kita main anagram. Dan ‘Soir de Paris’ adalah kata-kata yang harus kita acak agar menemukan kata baru. Yang kuyakini bahwa kata yang akan kita temukan akan menunjukkan di mana dia berada atau siapa orang yang menculiknya,” jelasnya panjang lebar.
Mega tertegun. Semua penjelasan temannya itu membuatnya terdiam sejenak. Menyadari betapa bodohnya dia yang tidak peka terhadap pesan adiknya. Namun, masih ada satu lagi alasan yang membuatnya diam.
“Masuk akal. Tapi...”
“Tapi?”
“Tapi mungkinkah? Kami memang sudah lama hidup di sini, tapi adikku tidak bisa bahasa Prancis. Lagi pula, kami terbiasa bermain acak kata dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Prancis,” jelas Mega. Hati kecilnya percaya, tapi di sisi lagi juga ragu-ragu.
“Aku sudah memikirkan itu. Tapi yang membuatku penasaran, dari mana adikmu tahu frase ‘Soir de Paris’?” tanya pemuda itu.
Soir de Paris. Seketika Mega ingat almarhumah ibu dan almarhum ayahnya. Dan kehidupannya di Aceh dulu saat semuanya masih lengkap dan bahagia.
“Ayahku... sebelum menikah dengan Ibu, pernah membelikan Ibu sebotol parfum dulu. Soir de Paris nama parfum itu. Cukup terkenal di tahunnya. Lalu, setelah parfumnya habis, Ibu tak membuang botolnya, melainkan menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Lalu ketika Tiara lahir, botol parfum itu sering dimainkan olehnya. Begitu mungkin,” kisah Mega dengan nada sedih.
“Begitu... Mungkin... Cukup masuk akal.”
“Lalu?”
 “Oke. Kembali ke acak kata. Aku sudah memikirkan bahwa kalian tidak bermain acak kata dalam bahasa Prancis, tapi bahasa Inggris. Nah, maka dari itu, sebelum diacak, kita terjemahkan dulu frase itu ke bahasa Inggris. ‘Soir de Paris’ bahasa Inggrisnya ‘Evening in Paris’. Betul, bukan?”
Mega tertegun lagi. Ia tak terpikirkan sampai ke situ.
“Iya betul. Tapi...”
“Tapi apa? Tunggu. Biar kutebak. Kalian tidak pernah bermain dengan frase, tapi hanya dengan kata. Betul bukan?”
“Iya. Dari mana kau tahu?”
“Tiara itu hanya seorang gadis kecil. Akan sulit baginya untuk mengacak frase.”
“Tapi... kau lihat sendiri kan? ‘Evening in Paris’ itu sebuah frase, bukan kata.”
“Kau kurang peka, Mega. Kita tahu, ‘Evening in Paris’ memang sebuah frase. Tapi, tetap saja. Kita sedang main acak kata. Intinya, kita harus mengacak frase ‘Evening in Paris’ menjadi kata, bukan lagi frase.”
“Tapi...”
“Entah. Bisa jadi dua atau tiga kata.”
Mega terdiam setelah “Tapi”-nya yang ke-empat dijawab sebelum sempat ia melanjutkan.
“Lalu, kata apa saja yang bisa dibentuk dari huruf E-V-E-N-I-N-G-I-N-P-A-R-I-S?” tanyanya.
Pemuda itu diam. Mega juga diam. Yang terdengar hanya suara kertas dibalik-balik di sambungan telepon itu.
“Aku sudah mencoba beberapa yang kubisa. Tapi... aku masih belum mengerti,” cakap pemuda itu. Suara kertas dibalik-balik masih terdengar. Seolah ia sedang sibuk dengan tumpukan kertas.
“Aku akan membacakannya, kau catat. Siapkan kertas dan bolpoin,” sambungnya.
“Baik.” Mega bergegas mencari tas kerjanya. Mengambil beberapa lembar kertas tak terpakai serta satu buah pena. “Aku siap”
“Baik. Aku sebutkan. APE, GRAPE, GRAVE, VINE, GRAPEVINE, NINE, SPINE, PINE, PEE, PEER, PEAR, PIE, PANE, PAN, PAIN, PEN, PENSIVE, VINEGAR, VIRGIN, INN, SIN, RING...”
Diam.
“Apa lagi?”
“Kau sudah mencatatnya?”
“Sudah. Apa lagi?”
“Hanya itu yang kudapat. Mungkin masih ratusan atau bahkan ribuan kata lagi yang ada. Tapi... kosakata itu yang kurasa kosakata yang wajar diketahui gadis kecil seusia Tiara yang masih belajar bahasa Inggris,” jelas pemuda itu.
“Lalu?”
“Lalu... sekarang kau yang temukan petunjuk selanjutnya. Kau orang terdekatnya, bukan? Kau lebih mengenal dia dibanding aku.”
Mega tertegun lagi.
Lagi-lagi ia merasa bodoh dan gagal sebagai seorang kakak. Harusnya, ia yang lebih peka dan lebih giat mencari petunjuk-petunjuk. Bukan hanya diam menunggu polisi yang bertindak. Dan jikalau ia tidak menemukan petunjuk selanjutnya, maka ia benar-benar seorang kakak yang gagal.
“Aku...?”
“Tentu.”
“Bagaimana? Aku tidak bisa. Aku... bukan detektif. Aku... hanya seorang kakak yang bodoh.” Suara lembut itu berubah parau lagi. Perlahan, isak tangisnya berhamburan di ruangan yang sunyi.
“Sudahlah. Tak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Tiara tak membutuhkan tangismu saat ini, ia butuh usahamu,” pesan sang pemuda. Kalimatnya halus, namun menusuk.
Mega masih menangis.
“Sudahlah, Mega. Aku tak tega mendengarmu menangis. Sebaiknya, sekarang kau tidur. Besok, baru kau pikirkan kata-kata itu. Manakah kira-kira kata yang sekiranya memberikan petunjuk,” sambungnya.
Sungai di pelipis itu diusap. Dihentikan. Mega menarik nafas dalam. Lalu membuangnya perlahan. Memang benar apa yang dikatakan temannya itu. Saat ini, menangis tak berguna. Meski para peneliti telah menyatakan bahwa menangis dapat mengurangi stres dan dapat membantu mengeluarkan racun di tubuh, tapi... menangis tanpa usaha, akan berbuah apa?
“Iya. Aku mengerti,” desahnya.
“Tidurlah. Istirahatlah. Besok tak usah datang kerja. Aku akan membicarakannya pada atasan.”
“Terima kasih. Kau terlalu baik.”
“Itulah gunanya teman.”
Mega tersenyum.
“Terima kasih. Sekali lagi terima kasih banyak.”
“Cukup. Kau boleh berterima kasih jika teori anagramku terbukti benar.”
“Baik. Baik.” Terlukis tawa kecil di bibirnya yang pucat. Begitu, ia terlihat lebih cantik. ”Ya sudah. Selamat malam.”
“Malam...” sahut sang pemuda.
Lalu telepon terputus.
Semuanya kembali hening. Tenang. Hingga esok harinya, kota Paris bangun bersamanya. Kantung mata itu tampak makin jelas. Hitam kelabu di tengah wajah kuning langsat wanita Asia.
Setengah muram, wajah itu menatap selembar kertas yang ditulisnya dengan kata-kata semalam. Menelaah, mengidentifikasi, mencari kata yang sekiranya berhubungan berisi petunjuk. Entah petunjuk apa. Yang penting petunjuk. Begitu yang terpikir di benaknya.
Tak jauh darinya, André tengah berkecimpung dengan peralatan dapur. Semenjak hilangnya Tiara, Mega jadi tak nafsu makan. Maka dari itu, André sengaja berbaik hati membuatkannya sarapan. Karena jika tidak, mungkin Mega takkan makan seharian. Nasib baik masih banyak orang yang perhatian padanya. Terlebih di saat-saat sulit seperti ini.
“Di sini kau kehabisan cuka, Mega,” ucap André. Aksen Prancisnya tak bisa lepas dari lidahnya meski ia berbahasa Indonesia sekarang. Kalimatnya juga belum sempurna.
Begitulah, saking dekatnya dengan Mega, mereka saling mengajari satu sama lain. André mengajarinya bahasa Prancis. Mega mengajarinya bahasa Indonesia. Bahkan, tak jarang juga Mega mengajarinya memasak makanan khas Indonesia.
“Aku akan mengambilnya di dapurku dulu,” sambungnya. Lalu ia mematikan kompor. Dan melangkah keluar menuju apartemennya sendiri. Namun, baru sampai di pintu, dia kembali lagi. “Kau mau kue, Mega? Je l’apporte pour ti. (Akan kubawakan untukmu)”
Mega mengangguk tersenyum.
Lalu matanya fokus lagi pada secarik kertas di tangannya. Kemudian, seper sekian detik berikutnya. Ia tertegun. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dan otaknya berpikir lebih keras. Dengan pelan, ia bergumam.
“Pies, Vinegar, Inn...”
Ada apa dengannya?

Adakah ia sudah menemukan petunjuk?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar