Minggu, 24 Juli 2016

Rumah Sakit Jiwa

Rumah Sakit Jiwa adalah sebuah cerita seram tentang seorang wanita muda yang pergi mengunjungi pamannya yang seorang psikiatris yang sukses.





Saat kereta tiba di stasiun, Natalie Brice-lah satu-satunya penumpang yang turun. Ia meletakkan kopernya dan melihat sekeliling. Peron begitu sepi. Ia datang untuk mengunjungi pamannya, dan pamannya itu seharusnya di sana untuk menjemputnya.

Semenjak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dua tahun yang lalu, Natalie hidup sebatang kara. Ia memutuskan untuk menghubungi satu-satunya kerabatnya yang masih hidup, pamannya, James. Ia belum pernah bertemu dengannya sebelumnya dan yang ia tahu tentangnya hanyalah bahwa pamannya itu seorang psikiatris yang sukses.

Natalie memandang sekeliling dengan ragu dan akhirnya melihat sebuah bilik telepon umum. Ia merogoh dompetnya untuk mencari surat dari sang paman. Dan ada nomor teleponnya di bagian kop surat itu.

Ketika ia mencoba menelepon, seorang perempuan yang menjawab. Ia dapat mendengar suara kegaduhan lewat sambungan. Kedengarannya seperti mereka sedang mengadakan pesta.

“Halo, bisa bicara dengan Dr. Brice?” tanya Natalie.
“Siapa ini?” tanya si perempuan.
“Saya Natalie,” jawabnya. “Natalie Brice... Saya keponakannya.”
“Tunggu sebentar,” kata si perempuan.

Setelah hening cukup lama, seorang pria mengangkat teleponnya.

“Oh, Natalie, Sayang!” serunya. “Sungguh kehormatan yang tak terduga!”
“Keretaku baru saja sampai,” ujar Natalie. “Kukira paman akan menjemputku...”
“Kami sedang berpesta di sini,” jawabnya sembari terkekeh. “Aku akan menyuruh susterku untuk menjemputmu. Aku ingin kau bertemu semuanya di sini.”

Ia menutup teleponnya dan Natalie membawa kopernya lagi dan menunggu di luar stasiun. Tempat parkirnya kosong. Tak lama kemudian, sebuah mobil tiba dan seorang perempuan turun. Perempuan tinggi dan kurus itu mengenakan seragam berwarna putih yang kusut.

Natalie melambaikan tangan padanya.

“Cepat,” perintah perempuan itu. “Kau bisa meletakkan kopermu di bagasi.”

Natalie mengenali suaranya. Suaranya sama seperti suara perempuan yang menjawab teleponnya tadi. Selepas Natalie masuk ke dalam mobil, perempuan itu segera menyalakan mesin dan ngebut.

Mereka tak berbicara selama berkendara. Sebagai seorang wanita yang mengemudi di jalan pedesaan yang berliku, ia melaju begitu cepat dan Natalie khawatir mereka celaka.

Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pagar yang megah. Mobil mereka berbelok ke jalan kecil yang terhubung ke sebuah rumah yang besar yang dikelilingi pepohonan. 
Pintu depan rumah itu terbuka lebar.

Mereka telah sampai dan Natalie turun dari mobil. Ia bersyukur sebab perjalanannya yang mengerikan usai. Si perempuan berseragam mengambil koper Natalie dari bagasi dan membawanya masuk lewat pintu yang terbuka.

Saat berjalan melewati lorong masuk yang panjang dan kosong, Natalie mendengar suara tawa dan perbincangan. Di sisi kiri, ia melihat sebuah pintu hitam. Tertempel sebuah tanda dari kuningan dengan nama pamannya di sana.

Ketika mereka sampai pada di ujung, mereka memasuki ruang tamu. Pestanya tengah berlangsung. Musik dimainkan dan banyak tamu yang mengelilingi sebuah meja besar.

Sebagian dari mereka tengah menenggak minuman dan mengobrol sementara yang lainnya sibuk berdansa dan bersenang-senang. Salah seorang pria memakai kap lampu di kelapanya. Sekarang dan kemudian, tiap dari mereka tergelak tawa dan mulai berteriak-teriak. Seolah mereka begitu bahagia.

“Ini Natalie!” jerit sang suster, berusaha lebih keras dari musik yang diputar. “Dia keponakan Dr. Brice!”

Tak lama, pria gemuk datang mendatanginya. Ia tengah mabuk dan kata-katanya tak jelas.

“Kau harus minum!” teriaknya seraya mengulurkan gelasnya yang setengah kosong ke tangan Natalie. “Ini, ambil punyaku! Aku akan ambil yang lain.”

Dengannya, ia kembali ke meja dan mengambil sebuah botol.

Seorang pria jangkung beruban dengan mantel putih menghampiri Natalie dan tersenyum.

Natalie gembira. “Kau pasti pamanku,” katanya.

“Bukan. Bukan.” Sang pria terkekeh. “Aku dokter yang lain.”
Natalie merasa sedikit malu. “Oh... maaf,” gumamnya.

“Kau harus memaklumi mereka,” ucap sang dokter, bermaksud pada tamu-tamu yang lain. “Mereka telah minum banyak. Kau lihat sendiri, mereka tak terbiasa dengan pesta.”

Seolah sebuah isyarat, salah seorang tamu muntah di pojok ruangan.
Natalie melengos jijik. “Di mana pamanku?” tanyanya tak sabaran.
“Ia sedang sibuk saat ini,” kata si suster. “Kau akan bertemu dengannya nanti.”

Si pria gemuk datang lagi. Wajahnya memerah kini.

“Aku datang lagi,” katanya. “Seperti bumerang!”
Sang pria jangkung dan si wanita tertawa keras.

Natalie berpikir bahwa orang-orang ini sedikit aneh. Ia keluar dari pesta dan berkeliling ke lorong masuk hingga ia tiba di ruang kerja pamannya. Penasaran, ia buka pintunya dan mengintip ke dalam.

Ruangan itu nyaman dengan banyak kabinet yang penuh dan rak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dan sebuah kursi kulit yang besar. Di pojoknya, ada sebuah sofa. Ia melihat sebuah telepon di meja namun kabelnya tak tersambung.

Saat ia mendekat, ia menyadari bahwa kabel telepon itu sudah diputus. Kemudian, ia melihat sesuatu di balik meja. Ada sesuatu di sana, terselimuti kain putih. Dengan tangan gemetar, ia menghampirinya dan menarik kain itu.

Natalie menjerit. Darahnya seolah membeku.

Dibalik kain itu, seorang pria dan wanita berbaring. Mereka hanya mengenakan pakaian dalam dan mata mereka mendelik terbuka, memandang Natalie. Tubuh mereka berdarah dan tenggorokkan mereka telah digorok dari telinga ketemu telinga.

Natalie mendengar suara dan kala ia berbalik, ia melihat si pria jangkung dan si suster berdiri di pintu.

“Kami sudah lelah mendengar teleponnya berdering,” kata si pria dengan tawa kecil. “Panggilan-panggilan itu kian mengganggu.”

Natalie mengingat tawa kecil itu. Tawa yang sama yang ia dengar dari pria yang bicara dengannya di telepon saat ia menelepon di stasiun.

“Apa-apaan ini?!” Natalie menuntut. Ia bergetar hebat. “Di mana pamanku?”
“Maaf,” kata si pria jangkung. “Semua terjadi begitu cepat. Kami ingin berpesta tapi Dr. Brice tak mengizinkan...”
“Dan kemudian Suster Ratchet mencoba untuk menghentikan kami,” kata si perempuan berseragam suster.
“Hingga akhirnya semuanya tak terkendali,” ujar si pria.

Suara kegaduhan pesta mulai berakhir. Dan lagi dan lagi, para tamu-tamu itu berkumpul di depan pintu, menatap tajam Natalie.

“Kalian semua tidak waras!” isak Natalie. “Kalian harus masuk rumah sakit jiwa!”

“Tapi, nak,” kata si perempuan berseragam suster, “memang itulah alasannya kami di sini.”



Diadaptasikan oleh: Fajar Utomo, dari: The Mental Hospital.

1 komentar:

  1. Golden Nugget Casino & Resort - Mapyro
    Find Golden Nugget Casino 포천 출장안마 & Resort, Las Vegas, NV, United States, 밀양 출장샵 ratings, photos, prices, expert advice, 대전광역 출장안마 traveler reviews and tips, 제주도 출장안마 and more 충청북도 출장샵 information from

    BalasHapus