Ada yang ganjil dengan kematian nenekku. Wajahnya tertekuk. Otot-ototnya kaku. Matanya terpejam lekat, seperti orang yang kelilipan percikkan sampo. Dahinya berkerut tertahan. Dan rahangnya mengeras seperti sedang mengejan. Mukanya... mukanya menampilkan ekspresi orang yang sedang ketakutan. Atau lebih tepatnya menangis karena ketakutan.
Aku tak mengerti. Seluruh anggota keluarga besar sudah mencoba membacakan doa dan mengusap wajahnya berkali-kali. Namun tak mengubah apa-apa. Tetap seperti itu. Kami putuskan untuk segera memanggil “orang pintar”. Barangkali ia bisa menolong. Dan benar saja, setelah dibacakan doa-doa dan diusap kembali, wajah nenek kembali normal, seperti orang yang sedang tertidur. Aku sendiri tak menyangka beliau telah berpulang. Padahal kata dokter, beliau sudah menunjukkan kemajuan berkat pengobatan yang rajin kami berikan.
“Kamu tempati kamar Nenek, ya, Mas,” pinta Budeku selepas upacara pemakaman usai. “Kalau dikosongi, pamali. Paling tidak, ya untuk empat puluh hari.”
Aku mengiyakan. Tak ada rasa takut sedikit pun yang kurasa. Toh yang baru saja meninggal itu kan nenekku. Kalau memang arwah nenek masih di sana, tak masalah. Aku belum mau berpisah dengan nenek sejujurnya.
Semalam, dua malam, tiga malam kulalui tanpa keganjilan. Lima, enam, tujuh, sampai delapan, dan sesuatu terjadi di malam ke-9. Aku tak ingat pukul berapa. Yang jelas, sudah dini hari. Aku terbangun karena mendengar suara aneh.
Srekkk! Srekkk! Srekkk!
Temaram. Kuhamburkan padanganku ke seisi kamar. Dan apa yang kulihat dalam buram membuatku ngeri! Seseorang duduk di kursi roda peninggalan nenek. Menghadap ke dinding, membelakangiku. Rambutnya putih berantakkan berjuntai sampai ke lantai. Tangan kirinya mengais-ngais helai-helainya. Sementara tangan kanannya menyisirinya dengan sisir nenek! Sosok itu... begitu kurus... dan tangan-tangannya dipenuhi bulu putih!
Apakah itu Nenek?! jeritku dalam hati.
Tapi nenek tidak sekurus itu. Dan rambut nenek tidak putih semua. Apalagi sepanjang itu!
Aku takut! Aku enggan melihatnya! Aku langsung menindih wajahku dengan guling, dan menutupnya dengan selimut. Aku benar-benar takut melihatnya! Untuk beberapa jam aku tak bergerak, tak juga tertidur. Mataku terbuka lebar. Keringat dingin deras membanjir. Aku takut sekali! Aku tak mampu menggerakkan tubuhku!
Hingga suara aneh itu berhenti terdengar setelah diganti kokok ayam dan suara orang mengaji dari kejauhan, barulah kuberanikan diriku untuk membuka selimut, dan melihat situasi. Aku harus keluar dari kamar ini! Aku harus pindah! Aku takut!
Namun ketika selimutku perlahan kusibak..., guling kusingkirkan..., dan tubuhku kuputar menjadi tepat menghadap ke langit-langit..., aku... aku... terkejut bukan main!
Di sanalah dia.
Melayang di atasku.
Kaki-kakinya menggantung di langit-langit.
Dan wajah kami hanya berjarak beberapa centimeter.
Mata kuning.
Mulut lebar menyeringai.
Prompt 131 Monday Flash Fiction bertema Horror! Komen kalau masih nggak paham, ya. Hehehe. Happy Halloween, Jiwa-Jiwa yang Sesat!
Sumber gambar dan inspirasi: ini
Sumber gambar dan inspirasi: ini
Nenek di atas sana, di manakah twist-nya?
BalasHapusSudah kuduga.
HapusTwist-nya adalah hantu itu bukan neneknya. Tapi memang hantu yang menghuni kamar itu. Dan neneknya meninggal karena (takut) hantu itu. Itulah yg menyebabkan wajah si Nenek tertekuk seperti orang ketakutan. Kenapa? Karena si hantu suka "mantengin" wajahnya, hingga hal serupa dialami cucunya si nenek. "Dan wajah kami hanya berjarak beberapa centimeter."
Sekali lagi, itu bukan hantu Neneknya.
BalasHapus" Tapi nenek tidak sekurus itu. Dan rambut nenek tidak putih semua. Apalagi sepanjang itu!"